Thursday, August 18, 2016

Dipetik dari buku Sejarah Umat Islam Di Nusantara oleh Prof Dr. Hamka


BAHAGIAN KETUJUH
PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI NUSANTARA
FASAL 1: BANGSA INDONESIA PURBAKALA DAN KEPERCAYAANNYA
Sebelum Sejarah
            Di sekitar tahun 1939-1941 ahli-ahli penyelidik telah menemui di Mojokerto sebuah fosil termasuk rahang dan beberapa buah gigi dan tulang paha manusia, yang menurut teori penyelidikan itu adalah termasuk manusia purbakala yang hidup di tanah Jawa pada masa kira-kira 500,000 tahun sebelum tarikh Nabi Isa. Dalam ilmu purbakala, zaman itu dinamai zaman Quartair (zaman keempat). Pada masa itu manusia belumlah sempurna kemanusiaannya, masih dekat lagi dengan kehidupan binatang, belumlah mengenal apa yang dinamakan kebudayaan. Fosil (tengkorak yang telah membatu) itu pernah pula didapati orang dekat Solo (di desa Trini).
            Kalau penyelidikan ini kita sangkut-pautkan dengan dongeng orang tua-tua, teringatlah kita kepada kepercayaan mereka bahawa di zaman purbakala ada hidup raksasa yang besar-besar yang hidupnya pun berbeda dengan hidup manusia. Dan menguntungkan juga bagi kita sebab ilmu penyelidikan atas pertumbuhan hidup manusia itu sudah terpisah jauh daripada ilmu sejarah dan telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, dinamai antropologi. Ahlinya pun telah menetapkan bahawa pada zaman itu belumlah ada kebudayaan dan peradaban yang akan disejarahkan.
Nenek-moyang bangsa Indonesia
            Menurut penyelidikan ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi), adapun bangsa yang pada masa sekarang ini yang kita namai bangsa Indonesia, termasuk dalam rumpun bangsa Austronesia. Asal usul keturunannya ialah dari daerah yang dinamai oleh penulis sejarah Eropah, Hindia Belakang, sebagai timbalan dari Hindia ‘Muka’, iaitu India sekarang ini. Yang mereka namai Hindia Belakang itu ialah daerah yang melingkungi Thailand (Siam), Burma, Kemboja dan Laos (Indo China) sekarang ini, termasuk daerah Khmer di Uluan, dan di hulunya lagi ialah Tonki. Mereka berpindah berboyong sekelompok, mengalir ke bawah melalui Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Sumatera, Jawa dan pulau-pulau besar itu yang dinamai ‘Nusantara’ (Nusa-pulau) dan (Tara-antara) terletak di antara dua benua, iaitu Australia dan Asia, atau menurut cara berfikir di zaman itu, terletak di antara Benua China dan Benua India.
            Perpindahan itu tidaklah berhenti sehingga itu saja, bahkan mereka teruskan sampai ke pulau-pulau Luzon dan Mindanao yang baru sejak abad keenam belas dinamai Filipina; bahkan ke pulau Hawai di Lautan Teduh dan ada yang menuju ke Barat sampai ke Madagaskar, yang sekarang bernama bangsa Malagasi.
            Menurut penyelididkan itu, perpindahan itu terjadi 2000 tahun sebelum lahir Nabi Isa a.s., dan ada yang menaksir lebih.
            Maka hiduplah mereka di tempat kediaman yang baru itu, Mana yang telah serasi hidupnya dengan tanah tempatnya singgah, mukimlah dia di sana dan yang lain meneruskan perjalanan juga, sampai mendapat tanah yang serasi pula. Kehidupan mereka ialah berburu dan bercucuk tanam, dan menombak ikan. Oleh sebab itu pada mulanya kehidupan mereka lebih mendekati air daripada menetapi tanah. Supaya mudah bagi mereka berpindah pula dengan perahunya apabila merasa hidup tidak terjamin lagi di tempat yng telah dipilih itu. Dari dalam perahu beransurlah mereka pindah membuat rumah ke atas tanah. Rumah itu ditinggikan tonggaknya supaya terpelihara seketika pasang naik dan pasang turun atau supaya tidak diganggu oleh binatang buas. Dan dari pinggir laut yang kurangnya ombaknya, mereka mulai memudiki sungai-sungai. Sebab kebetulan di kediaman yang baru itu terdapat sungai-sungai yang jauh hulunya sampai hutan belukar, sebagai Irawady di Burma, Musi dan Batanghari di Sumatera, Citarum dan lain-lainnya di Jawa, Kapuas di Kalimantan dan lain-lain. Di tepi-tepi sungai itulah dengan beransur-ansur mereka mendapat ilham buat melanjutkan hidup melawan kesulitan dan kesukaran alam. Sehingga pandailah mereka membuat rumah alat perkakas, pemburu ikan (tombak, kail), dan penebas hutan (kapak pepatil), dan sampai pandailah mereka akhirnya membuat sawah dan menggalikan anak bandar dari sungai ke sawah itu.
Bentuk Badan
            Wajah mereka umumnya berwarna sawo matang dan setengahnya wajah mereka hitam manis, rambutnya hitam lurus dan tidak keriting, tingginya rata-rata 6.25 kaki.
            Terasa benar persamaan muka dan bentuk ini dan persamaan laku hidup setiap hari sampai zaman sekarang. Kerapkali apabila orang-orang yang datang dari Filipina, Siam, Burma, Malaya dan Indonesia bertemu di luar negeri, seumpama di Eropah atau Amerika dalam perjalanan musafir, sebelum bertegur sapa, masing-masing menyangka bahawa ‘kawan’ yang duduk di hadapannya itu adalah orang senegerinya. Setelah bertegur sapa baru diketahui bahwa tidaklah senegeri, sebab berlainan bahasa, sehingga yang menghubungkan mereka ialah bahasa asing seumpama bahasa Inggeris. Perlainan iklim dan perpisahan yang telah lama sangat masanya, menyebabkan perbedaan bahasa. Demikian juga setelah mereka memilih agama masing-masing sejak dari Hindu dan Budha dan Islam dan kemudiannya agama Nasrani, timbullah bilik-bilik yang memisahkan jiwa. Bahkan di kepulauan Indonesia sendiri, yang sekarang telah menjadi sebuah negara, terdapatlah berpuluh-puluh suku bangsa yang berlain-lain bahasanya. Tetapi ahli ilmu bangsa-bangsa dari segi bahasa senantiasa masih melihat beberapa kata-kata yang memperlihatkan kesatuan asal mereka. Seumpama kata-kata padi, besi, babi, rumah, dada, buaya,; ada pada setiap suku bangsa itu dengan sedikit-sedikit, demikian juga manuk (ayam) yang ada di Tapanuli, Minangkabau, Jawa dan Tagalog, Banjar dan Toraja!
            Orang Hindu purbakala menamai saja kelompak bangsa ini ‘Jawadwipa’ dan setelah bangsa-bangsa ini memeluk agama Islam dan banyak mengerjakan rukun haji ke Makkah dan mengembara sampai ke Mesir, Palestin dan Turki pun semuanya dinamai saja orang Jawa. Sehingga di Masjid Al-Azhar yang tua dan masyhur itu ada sebuah Rouaq (asrama) bernama Rouaq Jawa, yang pada masa dahulu didiami oleh mahasiswa yang datang dari Indonesia, Siam, Malaya, dan Filipina. Di masjid Khalil (makam Nabi Ibrahim) di Palestin, terdapat pula satu ruang dalam masjid, tempat di zaman dahulu seorang ‘Jawa’ yang tidak dikenal dan tidak diingat lagi siapa namanya oleh penduduk di sana duduk bertekun beribadah. Dan diceritakan turun-temurun oleh orang tua-tua di sana.
            Seluruh bangsa itu pun dinamai bangsa Melayu. Pulau-pulau itu pun dinamai ‘Gugusan pulau-pulau Melayu’, sehingga Carlos Romulo ahli politik Filipina itu menyatakan cita-cita akan membentuk kelak satu Kesatuan Melayu Raya, yang meliputi Malaya, Indonesia, dan Filipina.
            Melihat jalan sejarah pertalian darah raja-rajanya sejak Sriwijaya, Kalingga, Kediri, Singhasari, danMajapahit (sebelum Islam), dan Melaka, Demak, Bantam, Acheh, dan lain-lain (sesudah Islam), patutlah diakui kesatuan bangsa-bangsa ini.
            Dan setelah terjadi perubahan-perubahan dalam ribuan tahun baik karena pemilihan agama di zaman dahulu, atau karena penjajahan bangsa-bangsa Barat terpecahlah bangsa-bangsa yang seasal itu menjadi beberapa bangsa: Burma-Siam (beragama Budha), Melayu-Indonesia (Islam) dan Filipina (Kristian).
Kepercayaan  
            Di zaman purbakala sebagaimana bangsa-bangsa purbakala yang lain, mereka belumlah menganut suatu agama yang tertentu, tetapi di dalam jiwa mereka telah ada persediaan buat menerima agama. Di dalam jiwa mereka sudah mulai tumbuh kepercayaan. Ada dua hal yang menyebabkan tumbuhnya kepercayaan itu. Pertama alam sekeliling, kedua soal hidup dan mati!
            Manusia itu hidup di antara alam. Air yang mengalir dari hulu ke hilir membawa banjir dan banjir meninggalkan bunga tanah dan bunga tanah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Di antaranya mereka mendapat padi. Hujan yang turun dari langit pun menambah suburnya padi itu. Bintang-bintang di langit yang bergiliran kelihatan di antara 12 bulan dalam setahun pun menentukan pembahagian musim hujan dan muim kemarau. Semuanya itu berpengaruh kepada mereka di dalam hidupnya, sehingga mereka percaya bahawa ada hubungan mereka dengan seluruhnya itu. Niscaya semuanya itu ada angkernya dan ada tuahnya. Oleh sebab itu pula dapatlah dilihat bekas kepercayaan kepada tuah, angker dan semangat itu pada pemujaan kepada padi. Dia dinamai Dewi Sri atau Sang Hyang Sri. Subur atau layunya padi itu rupanya sangatlah bergantung kepada musim terutama kepada matahari, yang terbitnya menimbulkan siang dan terbenamnya menimbulkan malam. Di waktu siang terbukalah jalan berusaha mencari makan dan di waktu malam timbullah rasa takut. Sebab di waktu gelap itulah binatang buas atau serangga yang lain kerapkali mendekati manusia yang sedang tidur. Maka timbullah kepercayaan bahwa di samping padi atau Dewi Sri, matahari pun ada hubungannya dengan keselamatan manusia. 

Kepercayaan zaman purba penduduk asal di wilayah Kepulauan Melayu ini sangat berkait rapat dengan semangat padi, sawah, hujan, banjir, matahari dan alam sekeliling namun ianya semakin berubah selepas kedatangan Islam dan kepercayaan Islam serta amalannya mula semakin serasi dengan kehidupan masyarakat setempat selepas semakin banyak masjid-masjid dibina di kawasan perkampungan (Gambar hiasan). 

            Sudah patut datang musim hujan, tetapi hujan belum juga datang. Menengadah ke langit, kepada Sang Matahari, Sang Suria, memohon menyelesaikan musim itu, sebab dia nampaknnya yang maha kuasa dari segalanya. Sehingga di Sumatera Tengah ada sungai bernama Batang Hari, dan Hari itu pun nama tuhan. Demikian sehingga jelas sekali pertumbuhan kepercayaan itu kepada segenap yang ada, sejak daripada sungai yang mengalir, air bah sekali setahun sampai kepada padi, bakal untuk hidup, sampai kepada matahari, sampai kepada tempat yang seram, lebih seram di waktu malam, sebagai pohon beringin, dan sampai pula kepada gunung-gunung yang tinggi menjulang langit dan indah lagi seram itu.
            Bapa, ataupun nenek, ataupun kepala keluarga yang lebih tua, itulah yang lebih banyak mengerti soal-soal itu. Dia menerima perkabaran tentang itu daripada ayahnya daripada neneknya dan orang yang tertua pula. Segala yang ditanyakan dapatlah dia menjawab. Maka timbullah pula kepercayaan bahwasanya beliau lebih tahu. Dan itupun menimbulkan hormat! Tiba-tiba pada suatu ketika ayah atau nenek atau orang yang tertua itu pun meninggal. Tadi masih bergerak, sekarang badannya masih ada tetapi tak hidup lagi. Apa arti hidup? Apa arti mati? Adakah kekuatan di luar tubuh? Akan diperbuat apa dengan tubuh yang telah mati? Maka pada zaman itu kerapkalilah tubuh yang telah mati itu tidak dikuburkan, melainkan disimpan di tempat yang istimewa di tengah keluarga, atau dihantarkan ke puncak bukit (Toraja). Sebab pengaruhnya masih terasa, dia seakan-akan masih hidup di kalangan anak cucu. Kadang-kadang terbayang di dalam mimpi. Entah mana yang lebih besar pengaruh atas jiwa mereka, entah takut entah cinta! Takut akan gangguannya, atau cinta karena jasanya! Inilah asal pemujaan. Maka adalah di antara keluarga yang tinggal itu yang mengakui mendapat kesempatan berjumpa dengan beliau yang telah mati, di dalam mimpi. Dia memberikan nasihat, fatwa dan lain-lain, dan dia minta supaya dipuja. Kadang-kadang benar pengakuannya itu dan ada pula yang dilebih-lebihkannya, supaya dia dipandang lebih bertuah, lebih mulia dari yang lain; supaya lebih dapat menguasai mereka semuanya, dan memang mereka pun memerlukan supaya tetap ada yang lebih berkuasa itu. Di sinilah timbulnya dukun dan datu. Panggilan datu didapatnya setelah dia lebih berkuasa.
            Maka baik mengatur hubungan dengan alam sekeliling, gunung-gunung, laut dan darat, beringin atau padi, terutama lagi hubungan dengan nenek yang telah mati, atau hendak mempertalikan hidup seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tergenggamlah di tangan dukun atau datu tadi. Kadang-kadang setelah seorang nenek mati, beberapa hari kemudian kedengaranlah suara harimau di dekat rumah itu tengah malam. Maka timbullah kepercayaan bahwa nenek itu telah ‘jadi-jadian’. Maka di beberapa tempat di Indonesia masih ada sisa kepercayaan kepada harimau jadi-jadian atau babi, buaya atau ikan. Hubungan dengan segala jadi-jadian itu pun terpengaruh dengan dukun atau datu.
            Oleh sebab itu beberapa orang ahli tidaklah menyukai mengatur mana yang terlebih dahulu tumbuhnya dinamisme (segala sesuatu ada semangatnya), atau animism (percaya akan arwah nenek moyang), atau totemisme ( percaya akan hubungan di antara manusia dengan nenek moyang binatang).
            Kesukaan orang berubat kepada doktor yang berpengetahuan di Indonesia, belumlah mencapai satu abad, walaupun di negeri yang telah Islam. Kedudukan mpu, dukun atau datu sebelum percaya kepada doktor, tidaklah diselangi oleh yang lain.
            Mantera-mantera atau jampi yang diucapkan oleh dukun di zaman dahulu ialah memanggil roh nenek moyang. Roh nenek moyang itu Hyang namanya. Tinggal dalam bahasa sehari-hari menjadi poyang atau moyang. Dia ada di puncak gunung yang tinggi. Hyang Tunggal pada nama gunung Dieng. (Adi Hiyang) . Gunung Sangiang (Sang Hyang) di Nusatenggara dan Parahiyangan di Sunda dan Perangan Padang Panjang di Minangkabau. Sudahkah ada kemajuan perasaan yang membawa kepercayaan itu kepada puncak dari segala kepercayaan itu? Sudahkah ada kepercayaan bahwa di atas dari segala semangat yang ada di gunung, di beringin, di harimau, , di air mengalir dan di nyawa nenek moyang  itu satu kekuasaan yang mutlak? Iaitu keesaan Tuhan? Yang Maha Tinggi, Maha Agung?
            Hal ini belum mendapat selidikan saksama. Memang ada kata-kata Sang Hyang Tunggal. Dan Tunggal artinya Esa! Dan pula ada Dewata Mulia Raya. Dan ada pula Dewata Mulia, di atas dari Dewata! Bilakah timbulnya kedua kata ini? Apakah Sang Hyang Tunggal timbul setelah memeluk agama Islam, dan Dewata Mulia Raya  timbul sebelum itu, iaitu ketika masih memeluk agama Hindu? Wallahu-‘a’lam! Tetapi jalan fikiran ke sana  sudah nampak dengan dukun dan datu. Lama-lama dukun dan datu itu dipandang sebagai wakil Hyang di dunia ini. Dan setelah kemudian jabatan datu itu sudah lebih tinggi karena dia pun menjadi raja, maka raja itu pun dipandang sebagai turun dari kayangan! Kayangan itu lama-lama sudah berkembang artinya menjadi langit! Demikianlah pertumbuhan dan perkembangan kepercayaan asli bangsa Indonesia dan bangsa serumpun yang ada di sekelilingnya. Dasar kepercayaan kepada ghaib telah bertumbuh dan berkembang, bersamaan dengan bertumbuh dan berkembang akalnya, yang meliputi rasa, periksa dan karsanya. Sehingga setelah agama datang, bukanlah agama menanamkan sesuatu yang baru, tetapi menyelesaikan kekusutan kepercayaan itu dan menyalurkan yang sewajarnya.
            Setelah agama Hindu datang, dimulainyalah menghimpun atau memperkecil jumlah kekuasaan yang dipercayai itu kepada tiga saja; Krisna, Visynu, dan Syiva, iaitu yang mencipta, yang memelihara, dan yang merusak. Dibantu oleh berbagai macam dewa. Dan setelah agama Budha datang diberinyalah ajaran memperbaiki budi dan pekerti, iaitu rohani dan jasmani. Dan setelah agama Islam datang bertambah jelaslah bahwa puncak kekuasaan itu hanya satu; Esa, tak berbilang, Allah Tuhan Yang Maha Esa, berkuasa sendiriNya. Dia pun mempunyai malaikat, yang mengatur turunnya hujan dan panas, menentukan rezeki segala makhluk (Mikail), yang mencabut nyawa makhluk (Izrail), tetapi Islam mengajarkan bahwa malaikat-malaikat itu dan beribu lagi malaikat yang lain, tidak bergerak dan tidak bertindak sendiri, kalau tidak dengan perintah Tuhan Allah Yang Maha Esa. Dengan demikian maka kepercayaan kepada kekuasaan dewa-dewa diselesaikan pula.
            Sekarang sudah berlalu 3,000 tahun sejak bangsa-bangsa berpindah dari tanah asalnya itu; dan telah bergelar agama yang datang, dan telah masuk ke dalamnya agama Islam dan dianut oleh sebahagian yang terbesar (72 juta di Indonesia; 3 juta di Semenanjung Tanah Melayu; 2 juta di Burma; 2.5 juta di Siam; 2 juta di Filipina), namun sisa pusaka nenek moyang mereka itu masih tinggal juga sisanya, banyak atau sedikit dalam jiwa atau kebiasaan mereka. Baik karena kepercayaan yang kusut belum diselesaikan, atau karena ada pula beberapa hal, yang penyair-penyair Islam merasa tidak perlu dihapusmusnahkan, karena tidak mengenai dasar. Misalnya perkara bahasa. Banyak kalimat-kalimat dari bahasa lama yang dibiarkan saja, bahkan dipakai dalam istilah-istilah Islam.
Bahasa Lama Dan Agama
            Di dalam batu bersurat Terengganu, (sekarang tersimpan di muzium Kuala Lumpur) yang ditaksir orang ditulis pada permulaan abad keempat belas, dengan huruf Arab, nama Allah Subhanahu Wata’ala masih disebut Dewata Mulia Raya.   

Kini batu bersurat tersebut disimpan di Muzium Negeri Terengganu, di Tanah Melayu yang kini adalah Malaysia. 











Syiling emas yang tertera nama Sultan Zainal Abidin Shah II (1793-1805M) dalam huruf tulisan Jawi.
Gambar diambil dari sumber rujukan buku Ensiklopedia bertajuk Barangan Kemas Tradisional Melayu di Perpustakaan Marang, Terengganu, Malaysia.

            Tuhan adalah kata yang telah didapat oleh Islam dan terus dipakai. Padahal arti asli kalimat Tuhan itu sama saja dengan dewa Syurga untuk ganti dari kata jannat. Malahan kata ‘jannat’ itu boleh diartikan kebun, dan syurga tetap untuk nikmat hidup sesudah mati. Oleh ulama-ulama Islam Indonesia ditulis dengan huruf Arab; syurga, neraka untuk ganti kata An-Nar. Padahal ‘An-Nar’ boleh diartikan api saja. Pahala untuk arti ‘arjun’ itu boleh diartikan upah saja. Dosa, siksa, durhaka, puasa dan lain-lain. Kebanyakan kata-kata ini berasal dari bahasa Sanskerta dipakai setelah agama Hindu tersiar di Indonesia lalu disambut dan dipakai oleh Islam, dan telah menjadi bahasa Melayu, selanjutnya menjadi Bahasa Indonesia.
Sisanya Belum Habis
            Dari segi berfikir agama, kita merasa keciwa, tetapi dari segi penyelidikan sejarah, kita merasa senang juga, sebab sisa-sisa bekas dari bangsa peradaban purbakala itu masih ada. Di Semenanjung Tanah Melayu masih ada orang Jakun dan Sakai. Di pantai timur Sumatera masih terdapat orang Laut dan orang Sasak. Di Pedalaman Jambi masih terdapat orang Kubu, orang Talang Mamak dan di Pulau Mentawai di hadapan Barat pulau Sumatera masih terdapat orang Mentewai. Ada juga yang telah lebih maju, karena ditukar oleh pihak zending dan missi Kristian, sebagai di Toraja atau Sulawesi dan Dayak (Kalimantan). Adanya sisa-sisa yang ketinggalan itu lebih memudahkan juga untuk melanjutkan penyelidikan atas keadaan hidup nenek moyang zaman purbakala tadi.

FASAL II: PENGARUH HINDU DAN BUDHA
            Sebagai juga pengetahuan tentang Mesir Purbakala dan kebudayaan kuno Mahenjo Daro di India, penyelidikan orang pun tidak henti-hentinya atas kebudayaan Indonesia di zaman lampau. Batu-batu bersurat dan candi-candi tidak henti-hentinya diselidiki. Maka meskipun kebudayaan bangsa Indonesia baru mulai tumbuh sesudah tahun Masehi, namun oleh karena luas daerah kebudayaan bangsa Indonesia Nusantara itu, meliputi sejak dari India Belakang (Indo-China, Burma, Siam) dan terus ke pulau-pulau Filipina, tidak mengherankan jika ilmu purbakala Indonesia itu menarik hati sekali. Terutama nampak pusat kebudayaan itu di Sumatera dan Jawa.
            Nyatalah bahwasanya seketika mulai lahirnya agama Islam di Tanah Arab di dalam abad ketujuh, agama Budha Mahayana sedang berkembang pula di Nusantara, di bawah pimpinan Sriwijaya dan berpusat di Palembang. Kerajaan Sriwijaya itu pernah berkuasa sampai ke Siam dan dijumpai orang batu bersurat di Ligor. Bahkan di dalam salasilah susunan dinasti Siam sampai sekarang, Sriwijaya itu termasuk pembangunnya yang penting. Dan sampai juga pengaruhnya ke India Selatan dan ke Langkapuri. (Ceylon), dan menancapkan kuasanya juga di tanah Jawa. Maharaja Syailendra dari Sriwijaya itulah yang menitahkan mendirikan candi Borobudur, candi yang diakui keindahan dan ketinggian arkiteknya oleh para penyelidik, melebihi daripada apa yang ada di India sendiri.
            Menilik daerah-daerah yang dikuasainya, nyatalah bahwa kerajaan Sriwijaya itu sebuah keajaan maritim, yang berdagang ke India dan ke Tiongkok, guna memperkuat tali persahabatan dengan Maharaja Langit itu.
            Tetapi meskipun abad-abad yang keenam dan ketujuh adalah perkembangan Sriwijaya yang sampai sekarang asyik dipelajari itu, namun pengaruh Hindu dan bangsa Hindu telah masuk ke Nusantara Indonesia jauh sebelumnya. Maka tidaklah atau belumlah diketahui dengan pasti bila benarkah mulanya masuknya orang Hindu ke Indonesia. Berita yang tertua dari hal kepulauan Nusantara itu terdapat dalam buku Yunani Periploustes Erythras Thalasses. Dalam buku itu ada disebut nama Chryses itu ialah Semenanjung. Disebut juga Chryses Chersonesos. Disebutnya juga nama-nama negeri-negeri  Barousai yang artinya Barus. Sabadebai yang artinya Jawadwipa, atau Andalas. Buku Yunani itu bertarikh 70 Masehi. Protolomeus yang hidup pada sekitar tahun 150 Masehi pun telah lebih menjelaskan lagi hubungan itu, sehingga lebih nyata.
Kerajaan Hindu Tua
            Setelah diselidiki dengan saksama, ternyatalah bahwa pada kira-kira tahun 400 Masehi (2 abad sebelum lahir Nabi Muhammad s.a.w) telah ada sebuah kerajaan Hindu di Kalimantan Timur, iaitu di Kutai. Bertemulah batu bersurat yang menyatakan bahwa nama Raja Kerajaan Hindu itu Mulawarman, dan huruf batu itu ialah Pallawa. Dapat pula diketahui bahwa ada hubungan kerajaan itu dengan India Selatan.
            Kemudian dapat pula diselidiki lagi bahwasanya di Jawa Barat dalam abad kelima (seabad sebelum Nabi Muhammad s.a.w) ada pula sebuah kerajaan Hindu bernama Taruma Negara. Dan didapat pula nama rajanya, iaitu Purnawarman. Nama kali Citarum amat mungkin dari Taruma. Seorang pelawat Tiongkok bernama Fa Hian telah melawati ke Nusantara dalam abad yang kelima itu dan dicatitnya nama-nama negeri yang dilawatinya sebagai Cho-p’o, yang diartikan oleh penyelidik dengan Jawa. Disebutnya juga Holotan yang besar kemungkinan Kelantan. Fa Hian telah melawat ke Andalas, Semenanjung, Kalimantan dan Jawa. Jika kita ingat bahwasanya kedua benua yang ada di kiri kanan Nusantara, iaitu Hindustan dan Tiongkok telah lama menjadi negeri yang maju, dan hubungan di antara kedua benua itu, selain dengan jalan darat melalui pergunungan Tibet, adalah hubungan laut iaitu Selat Melaka, tidaklah heran jika telah ada hubungan laut yang ramai melalui Selat Melaka, jauh sebelum lahirnya Nabi Isa a.s. Dan itu pula sebabnya maka di dalam penyelidikan sejarah, bahan-bahan dari India dan Tiongkok amat penting dalam penyelidikan sejarah Indonesia. Orang Tionghoa telah banyak menuliskan pengalaman dan kesan-kesan perlawatannya dan hasil penyelidikan itu dipergunakan oleh penyelidik zaman sekarang.


Gambar diambil ketika lawatan di pameran seramik di Muzium Negeri Terengganu, Malaysia. Gambar-gambar seramik buatan China (Tiongkok) ini banyak ditemui sekitar kawasan persisiran laut Malaysia menunjukkan kesan perhubungan perdagangan yang cukup rapat antara negara Malaysia dengan China pada zaman dahulu. 
Sriwijaya dan Sambojaya
            Ahli-ahli sejarah Tiongkok itu menyebut nama Sriwijaya Sah-Li-Foh, katanya terletak di pinggir sungai yang besar bernama Mosi, iaitu sungai Musi sekarang, dia berkembang dan bermegah di dalam abad keenam, ketujuh dan kedelapan.
            Di Solok (Sumatera Barat) telah didapati sebuah patung Budha yang menurut taksiran adalah dari abad keenam. Selain daripada itu disebut orang juga nama kerajaan San Foh Shi. Menurut penyelidikan itulah kerajaan Sambojaya, cakal-bakal dari Sriwijaya, berdiri dalam abad ketujuh. Diselidiki pula, maka besarlah kemungkinan bahwa letak kerajaan itu di Sumatera Tengah pula, iaitu di Muara Takus, di dekat Sungai Kampar.
Langkasuka dan Kataha
            Di dalam penyelidikan terdapat pula nama-nama kerajaan Langkasuka yang ditaksir berdiri di Semenanjung dan bertemu nama Kataha yang ditaksirkan dengan Kedah sekarang.
 Pulau Langkawi kini menjadi kawasan pelancongan utama di negeri Kedah, Malaysia yang dulu dikenali dengan nama Kataha.    
Tempat-Tempat Kerajaan Lama
            Masih menjadi pertikaian di mana tempat-tempat dan kedudukan kerajaan-kerajaan lama itu, sebelum Kediri. Ada yang mengatakan Sriwijaya di Muara Takus dan ada mengatakan Sriwijaya di tepi Sungai Musi pernah dipindahkan ke Muara Takus di tepi sungai Kampar.
Syailendra, Kalinga dan Mataram 1
            Syailendra Maharaja Sriwijaya yang besar itu melebarkan kuasanya ke tanah Jawa dan memperluas pengaruh agama Budha dan di dalam abad kesembilan didirikanlah candi Borobudur yang terkenal itu. Kerajaan Syailendra setelah kukuh di Jawa, dikenal pula dengan nama Kalinga. Dan di dalam abad-abad itulah ramainya pendirian candi-candi.
Kediri dan Singasari
            Kemudiannya berdirilah kerajaan Kediri dengan nama Rajanya yang terkenal Airlangga, yang berkuasa sampai ke Bali. Kerajaan itu dibaginya dua untuk kedua orang puteranya, iaitu Kediri dan Janggala. Kemudian naiklah kerajaan Singasari. Waktu itu pulalah terkenal nama Raja Kartanegara. Menantu Kartanegara ini Wijaya yang menyeberang ke Sumatera buat mengalahkan kerajaan Sriwijaya yang paling akhir, dan dialah yang mendirikan Majapahit.
Majapahit
            Sesudah di zaman dahulu Sriwijaya mencapai puncak kemegahannya dengan mengambil dasar agama Budha, maka setelah ganti berganti kerajaan naik dan kerajaan turun, dengan nama raja-raja yang terlukis dalam sejarah lama Indonesia itu, sebagai Syailendra, Airlangga, Ken Angrok, Kartanegara, Wijaya, maka kian lama kian naiklah bintang kerajaan Majapahit itu.
            Menilik kepada sejarah, ada saja hubungan darah di antara raja-raja kerajaan itu, sejak zaman Sriwijaya sampai kepada zaman Majapahit. Maka jika di zaman Sriwijaya agama Budhalah yang dipentingkan, setelah Majapahit, Hindu dan Budha telah dicuba menyatukannya, menurut alam fikiran orang Indonesia. Airlangga dipandang sebagai jelmaan daripada Dewa Wisynu yang patungnya ditemui orang mengendarai garuda, maka oleh Maharaja Singasari Kartanegara diciptakanlah kesatuan di antara Syiwa dengan Budha dan pada diri beliaulah menjelmanya Syiwabudha itu.
            Majapahit mencapai puncak kemegahannya di zaman pemerintahan Patih Gajah Mada, yang bertindak sebagai kepala pemerintahan, Perdana Menteri, Patih, kepala perang dan bebrapa tugas yang lain. Dialah yang meluaskan kuasa kerajaan ini sampai ke Kalimantan, Nusatenggara, Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Sumatera, Cuma kerajaan yang terdekat daripadanya, iaitu kerajaan Pejajaran dan Galuh yang tidak dapat ditaklukkannya.
Darmasyraya, Aditiawarman dan Pangaruyung
            Politik Patih Gajah Mada itu dalam memperteguh pemerintahan Majapahit disokong oleh seorang besarnya yang berdarah Sumatera iaitu Aditiawarman. Seketika Sriwijaya telah jatuh dan Majapahit melebarkan kuasanya di Sumatera buat menjadi wakil mutlak Majapahit di sana. Maka dipindahkannya sisa-sisa Sriwijaya ke hulu, diberinya nama Darmasyraya, terletak di dekat Jambi sekarang. Kemudian dipindahkannyalah ke hulu lagi iaitu ke Minangkabau dan dinamainya kerajaan Pegaruyung. Dia datang ke sana pada tahun 1347M. Dengan meninggalnya Patih Gajah Mada pada tahun 1364M, lemah Majapahit, maka sejak waktu itu Aditiawarman memaklumkan dirinya sebagai Sri Maharaja Diraja dari Minangkabau.


Majapahit dan Pasai Samudra
            Di waktu kerajaan Majapahit mulai tumbuh, kerajaan Hindu Jawa yang terakhir dalam kemegahannya, dan sebagai penganut agama persatuan Syiwa/Budha, maka di Pasai-Samudra, di Sumatera sebelah Utara (Acheh) telah mulai pula timbul kerajaan Islam yang pertama di Indonesia, atau di sebelah Nusantara itu.
            Kartarajasa adalah Maharaja Majapahit yang pertama (1292-1309M) dan pada tahun 1297M, terdapat pula Raja Islam yang pertama di Pasai, Al-Malik As-Saleh!
Bekas-Bekas Zaman Lama
            Jika kita lepaskan kepala kita daripada tekanan-tekanan perasaan politik, niscaya akan timbullah ucapan terima kasih yang tidak ada hingganya tentang jasa kaum Orientalis dan ahli-ahli purbakala terutama yang berbangsa Belanda yang telah menolong kita di zaman sekarang dalam melanjutkan penyelidikan sejarah bangsa kita. Dengan bersungguh-sungguh, sebagaimana kebiasaan mereka, mereka telah menggali timbunan sejarah yang tidak kelihatan lagi, baik pada batu-batu bersurat atau pada patung-patung pahatan atau dalam catitan daun lontar, dalam masa yang kadang-kadang memakan waktu berpuluh-puluh tahun. Karena kesungguhan itu, akhirnya mereka mendapatinya kembali dan mereka persembahkan ke atas persada ilmu pengetahuan.
            Dari bekas dan hasil penyelidikan mereka itulah kita mendapat susunan kerajaan-kerajaan purbakala itu sejak dari masa kerajaan Mulawarman, Tarumanagara, Sriwijaya, Kalinga, Kediri, Majapahit dan seterusnya.
            Dalam sastera-sastera kuno kita pun ada peninggalan itu, misalnya dalam kitab-kitab Pararaton dan Nagarakertagama (Jawa) dan Sejarah Melayu (Melayu) dan ada yang tertulis dalam daun lontar. Tetapi hormat kepada raja-raja menyebabkan tenggelamnya dokumen-dokumen itu ke dalam dongeng dan khayal. Ahli-ahli itu telah menyesuaikannya dengan ilmu pengetahuan sehingga dapat kembali menjadi barang yang hidup.
            Borobudur 200 tahun yang telah lalu menjadi tumpukan batu-batu yang tidak dikenal, demikian juga Prambahab dan Mendut. Ahli-ahli itu telah mengerjakannya dengan sabar, sehingga Borobudur itu dapat dilihat kembali menurut bentuknya yang asal. Dan kita telah mendengar nama Gajah Mada dalam dongeng, tetapi ilmu pengetahuan pula yang telah membawa menjadi rangkaian kita tentang sejarah tanah air kita. Tergoleklah arca Aditiawarman pada sepiring sawah si Batanghari. Lututnya telah ‘telap’ bekas orang mengasah sabit dan cangkulnya. Ahli purbakala menyelidikinya dan mengetahui bagaimana tinggi nilai sejarah pada batu itu, sehingga pada tahun 1935 mulailah lebih jelas dan terang sejarah Aditiawarman di Minangkabau, lebih jelas daripada yang selama ini. Saya menyaksikan ketika arca besar itu dibawa dengan lori dari daerah Batanghari ke Bukit Tinggi, dan beberapa tahun kemudian ‘bersemayamlah’ arca itu di gedung Muzium pusat di Jakarta.
            Banyaklah lagi bahan-bahan sejarah yang masih bergelimpangan, sejak dari hujung pulau Weh (Sabang) sampai ke Irian. Dengan dilanjutkannya Dinas Purbakala oleh Departeman Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, mudahlah orang yang datang di belakang melanjutkan penyelidikan itu. Apabila mereka sabar, sesabar Prof. R.A Kem, Prof. N.J Krom, dan lain-lain itu, baik menyelidiki patung atau menyelidiki bahasanya, akan hiduplah kembali segala bekas-bekas purbakala itu, dan dapatlah kita mengetahui peranan yang telah dilakukan oleh nenek moyang kita.
            Dengan melihat sekali lintas nama-nama negeri, nama gunung, nama kampong, demikian juga bacaan mantera-mantera dan jampi bahkan dalam kata setiap hari yang lain-lain, kita rasai adanya bekas zaman purbakala masa Hindu atau Budha, ataupun yang sebelum itu, yang sebagai Biaro (Biara) di dekat Baso Bukit Tinggi , Kampung Periangan di Batusangkar, pulau Berhala di muka Jambi, Parahyangan di tanah Sunda, bahkan nama Sunda itu sendiri, Bima di Sumbawa, Gunung Sang Hyang (Sangiang), Gunung Den Hyang (Dieng) dan nama-nama negeri-negeri besar sebagai Martapura, Inderapura, Inderapuri, Inderagiri. Pada zaman sekarang pun ada juga usaha-usaha hendak memasukkan kembali bahasa-bahasa Sanskerta itu ke dalam bahasa Indonesia, yang kadang-kadang serupa dipaksakan.
            Begitu luas pengaruh Budha dan Hindu meliputi seluruh Indonesia bahkan seluruh Nusantara, sehingga bekasnya itu jelas. Dan telah berkembang pengaruh Hindu, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir ke dunia, dan dapat melihat bekas-bekasnya itu sampai sekarang. Boleh dikatakan bahwa Pengaruh Hindu itu telah ada sejak abd-abad yang kedua Masehi, sampai kepada abad yang keempat belas jadi 12 abad lebih kurang. Kemudiannya dia digantikan oleh Islam!
            Dan Hindu hanya tinggal dianut oleh lebih kurang dua juta daripada 105 juta, iaitu di pulau Bali. Dan 350 tahun pula di antara itu orang Belanda berkuasa dan pengaruh Kristian masuk. Dia pun hanya dapat mengkristiankan tidak lebih dari 5 juta.
            Maka soal berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia adalah satu di antara soal besar, baik dipandang dari segi sejarah umum, apatah lagi kalau dipandang dari segi Islam itu sendiri.  
FASAL III: TERSEBARNYA AGAMA ISLAM DI NEGERI-NEGERI MELAYU
Negeri-Negeri Melayu Dan Hubungannya Dengan Hindustan Dan Arab
            Yang kita maksud dengan negeri-negeri Melayu, atau boleh juga dikatakan pulau-pulau Melayu, ialah sejak dari Semenanjung Tanah Melayu, turun ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau Nusatenggara. Pulau-pulau Maluku termasuk Irian, dan naik terus ke pulau-pulau Luzon dan Mindanao yang disebut Filipina di waktu sekarang.
            Dalam pembahagian politik dewasa ini negeri-negeri itu sebahagiannya telah termasuk ke dalam wilayah Siam, iaitu Melayu Petani dan Ligor. Semenanjung Tanah Melayu telah tersusun dalam kerajaan Persekutuan Tanah Melayu sekarang yang telah mencapai kemerdekaannya pada tanggal 31 Ogos 1957. Dan apa yang dahulu disebut Gugusan Pulau-Pulau Melayu (Malay Archipelago), sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia dan Kalimantan sebelah utara (Brunei dan Sarawak); Brunei berpemerintahan sendiri di bawah seorang Sultan dan Sarawak bersama Sabah merdeka dan bergabung dengan Malaya jadi Malaysia pada 16-9-1963. Selanjutnya lebih ke Udara berjumpalah sambungan gugusan pulau-pulau itu, Luzon dan Mindanao yang kemudiannya bernama Filipina, yang kini telah menjadi sebuah Republik merdeka, yang didiami oleh sebahagian terbesar pemeluk agama Kristian Katholik.
            Masuknya agama Islam ke dalam negeri Melayu ini nampaknya mempunyai keistimewaan sendiri, iaitu dengan jalan damai dan beransur, jarang sekali dengan kekerasan dan diterima dengan sukarela oleh penduduk meskipun tidak dengan sekaligus (kecuali daerah Bugis, yang di bawah naungan Makassar diperangi oleh Makassar untuk memeluk Islam pada awal abad ke-17).
            Sejak bangsa-bangsa Barat mulai memasuki negeri-negeri Melayu ini di permulaan abad keenam belas (1511), dimulai oleh orang Portugis, dituruti oleh Sepanyol, kemudian Belanda dan Inggeris. Dan pernah juga ikut bangsa Perancis, maka beberapa ahli ilmu pengetahuan dan para penyelidik telah berusaha menyelidiki bilakah masuknya agama Islam ke negeri-negeri ini. Agak sulitlah mengumpulkan bahan-bahan itu, sebab negeri-negeri ini sangatlah jauh daripada pusat permulaan tumbuhnya agama Islam, iaitu tanah Arab. Sehingga lantaran itu, tidaklah dikirim ke tempat sejauh ini suatu misi angkatan perang yang besar, sebagaimana dikirim ke anak Benua Hindustan, atau ke Mesir, atau ke Semenanjung Iberia, (Sepanyol-Portugal), atau ke Asia-Tengah; yang semuanya itu telah terjadi di abad-abad permulaan dari Islam terutama di zaman bani Umaiyah, sehingga seorang sahabat Nabi, bernama Abu Musa Al-Asy’ari telah syahid di pintu gerbang Constantinople masih di zaman Mu’awiyah.
Di Zaman Permulaan Sekali
            Tetapi karena ketelitian menyelidiki segala bahan yang ada, bertemulah beberapa catitan penting dari pusaka Tiongkok; bahwa orang Arab pelopor pertama dari Islam, telah datang ke negeri-negeri Melayu pada abad ketujuh Masihi, artinya abad pertama dari Islam (tahun Hijrah dimulai pada tahun 622M, dan Nabi Muhammad wafat tahun 632M).
            Sebab itu menurut Sir Thomas Arnold; ‘Mustahil dapat diketahui tanggal yang jelas dan tahun yang tepat bilakah masuknya agama Islam ke pulau-pulau Melayu itu. Barangkali telah dibawa ke sana oleh saudagar-saudagar Arab pada abad pertama dari Hijrah Nabi, iaitu lama sebelum sampai kepada kita keterangan-keterangan tentang sejarah terjadinya pengaruh agama itu di negeri-negeri itu. Yang menyebabkan bahwa kemungkinan seperti itu sangat boleh jadi, ialah karena telah kita ketahui bahwa orang Arab telah melakukan perniagaan yang sangat luas di bahagian negeri itu sejak masa permulaan sekali. Pada abad kedua dari Hijrah perniagaan di pulau Ceylon semuanya adalah dalam tangan mereka. Sejak permulaan abad ketujuh Masihi perniagaan mereka telah sampai ke Tiongkok, dan sangat majunya, dengan melalui Ceylon, sehingga di pertengahan abad kedelapan Masihi (masih abad pertama Hijrah, Peny), saudagar-saudagar Arab itu telah mempunyai pusat perniagaan yang ramai di Kanton. Di antara abad kesepuluh dengan abad kelima belas, sampai datangnya bangsa Portugis, di tangan orang Arablah terpegang seluruh perniagaan di sebelah Timur, dengan tidak ada siapa pun saingannya. Oleh sebab itu dapatlah kita menyangka, dengan sedikit kepastian yang dapat diterima akal, bahwa orang Arab telah meletakkan sendi-sendi daerah perniagaannya pada beberapa pulau Melayu pada masa itu, sebagaimana yang mereka lakukan pula di tempat-tempat yang lain di masa-masa permulaan itu.
            Kemudian Sir Thomas Arnold menguatkan pula pendiriannya berdasar kepada penyelidikan-penyelidikan yang telah dilakukan oleh ahli-ahli sebelumnya. ‘Meskipun ahli-ahli geografi bangsa Arab belum menyebut-nyebut pulau-pulau itu sebelum abad kesembilan belas Masihi (abad kedua dan ketiga Hijriyah, Peny.), namun kita telah mendapat catitan-catitan tahunan yang diperbuat oleh pelajar-pelajar bangsa Tionghoa pada tahun 684M., tentang berjumpanya seorang pemimpin Arab,- yang menurut penyelidikan terakhir ialah pemimpin dari satu koloni orang Arab di pantai pulau Sumatera sebelah Barat’. Demikian keterangan Sir Thomas Arnold, yang dipetiknya pula dari hasil penyelidikan W.P. Groeneveld; ‘Notes on the Malay Archipelago and Malacca, compiled from Chinese sources (Vert. Bataviasche Genootschap van K. en. W. Deel….1880).

Catitan Dari Tiongkok
            Yang teramat penting pula ialah tentang catitan Tiongkok yang lain, yang menyatakan bahwa di ‘Cho’po’ ada sebuah Kerajaan bernama Holing (Ho-Ling). Pada tahun 674-675M, diangkat oranglah seorang perempuan menjadi Ratu, bernama Si Ma. Negeri Ho-Ling itu sangatlah aman dan makmurnya, dan Ratu itu memerintah sangat adil dan keras menjaga keamanan. Kabar berita tentang negeri itu terdengarlah kepada Raja Ta-Cheh. Lalu beliau utus orang ke negeri itu untuk membuktikan perkabaran itu. Disuruhnya orang mencecerkan sebuah pundi-pundi berisikan emas di tengah-tengah pusat kota negara itu, namun tidak ada orang yang mengambilnya. Akhirnya setelah tiga tahun pundi-pundi berhujan berpanas di tengah jalan, datanglah Putera Raja, lalu pundi-pundi itu diambilnya. Bukan main murkanya Ratu mendengar kejahatan perbuatan anaknya, sehingga diperintahkannya menteri-menteri membunuh anaknya itu. Dengan sangat para Menteri memohon kepada Ratu supaya hukuman yang sangat keras itu jangan dijalankan. Akhirnya diringankan, iaitu disuruh memotong kaki puteranya itu. 
            Dalam rangka penyelidikan sejarah-sejarah kuno Indonesia telah dapatlah ditafsirkan bahwa yang dinamai oleh ahli sejarah Tiongkok itu Cho’Po’ ialah Tanah Jawa, dan Ho-Ling ialah Kerajaan Kalingga di Jawa Timur, dan Ratu Si Ma ialah Ratu Simo, seorang Raja perempuan Pemerintah Kalingga pada masa itu, dan diakui pula dalam sejarah bahwa memang beberapa kali Kerajaan Kalingga itu mengirim utusan ke Tiongkok.
            Adapun Ta-Cheh adalah nama yang diberikan oleh orang Tionghua kepada seorang Arab. Dalam catitan itu disebut ‘Raja Ta-Cheh’, iaitu Raja Arab.
            Maka berkerutlah kening ahli-ahli penyelidik barat itu mencari siapakah agaknya Raja itu. Bahkan ada saja yang segera mengambil keputusan bahwa catitan orang Tionghua itu adalah dongeng saja. Tetapi pada waktu-waktu terakhir itu sudah timbul dalam kalangan mereka yang meninjau kembali dengan saksama cerita penulis-penulis Tionghua itu.
            Sejarah Islam dengan jelas mencatit, bahwasanya ‘Raja Besar’ Arab yang masyhur pada masa itu ialah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sahabat Nabi dan pembangun pertama dari Kerajaan bani Umaiyah. Setelah diangkat oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab menjadi Gabnor di Syam, berkedudukan di Damaskus, maka setelah dia menang berperang merebut kekuasaan dari Khalifah Keempat, Ali bin Abi Talib, beliau memaklumkan dirinya sebagai Khalifah pada tahun 657M. Dan beliau wafat pada tahun 680M.
            Amat besar kemungkinan bahwa tidak ada orang lain tempat memasangkan ‘Raja Ta-Cheh’ itu melainkan Mu’awiyahlah. Besar kemungkinan bahwa penyelidikan ke Tanah Jawa amat rapat persangkutannya dengan usaha beliau mendirikan armada Islam. Sebab beliaulah Khalifah Islam yang mula-mula mendirikan Armada Angkatan Laut. Mungkin sekali bahwa setelah ‘utusan’ atau mata-matanya menyelidiki sendiri ke tanah Jawa dan menguji perkabaran tentang keteguhan hati Ratu itu memerintah, niat baginda hendak mengirim perutusan memasuki pulau-pulau Melayu, beliau urungkan saja.
            Besar pula kemungkinan bahwasanya ‘perkampungan’ (jahiliyah atau musta’mirah) orang Arab yang didapati oleh penulis Tionghua di pantai sebelah barat pulau Sumatera itu ada sangkut paut yang rapat dengan perutusan yang datang ke tanah Jawa, ke dalam Kerajaan Kalingga itu.
            Dalam sejarah peribadi Mu’awiyah amatlah terkenal kecerdikan dan kebijaksanaan baginda memerintah. Di antaranya baginda pun mengadakan badan-badan ‘penyelidik’ untuk pergi melihat-lihat negeri orang.
            Bertambah jelaslah bahwasanya orang-orang Arab itu sejak abad-abad Hijrah yang pertama telah mengembara melalui Lautan Hindia, di samping yng melalui jalan darat. Mereka telah berbuat perkampungan sendiri di negeri-negeri yang mereka datangi itu. Tempat mereka singgah ialah pantai Malabar dan Pulau Ceylon. Bahkan salah satu sebab maka pada tahun 711-712M., Gabnor negeri Iraq yang terkenal bengisnya itu, iaitu Al-Hajjaj bin Yusof mengirim Angkatan perang memasuki Benua Hindustan sehingga sampai ke Multan di kaki Gunung Himalaya, ialah karena raja pulau Ceylon mengirimkan kepada Hajjaj itu beberapa orang gadis yatim, ayah mereka ialah saudagar-saudagar Arab yang pernah kawin dengan penduduk bumiputera Ceylon. Maka ada di antara ayahnya itu yang telah mati dan berangkat ke negeri lain, sehingga anak-anaknya telah tinggal. Tetapi setelah gadis-gadis yatim itu dikirim dengan satu kapal dagang hendak dibawa ke Iraq, tiba-tiba kapal itu dirompak oleh lanun dan anak-anak itu diambil menjadi budak. Al-Hajjaj amat murka, sehingga penyerangan ke tanah Hindustan yang telah lama direncanakan, segera dilaksanakan dengan menjadikan rompak-lanun itu jadi alasan.
Langkasuka Dari Tanah Arab
            Kemudian itu timbul pulalah persoalan ahli-ahli penyelidik, apakah Islam diterima langsung dari Tanah Arab, atau diterima daripada orang Islam India?
            Maka agak meratalah faham bahwasanya masuknya Islam ke tanah Indonesia, atau ke negeri-negeri Melayu, bukanlah langsung dari Tanah Arab, melainkan dari India, dari pantai Malabar.
            Senafas dengan itu dikatakan, bahwasanya Islam yang diterima di sini bukanlah lagi asli dari Arab, melainkan telah ‘dari tangan kedua’. Iaitu dari orang Islam India dan orang Islam Parsi.
            Maka untuk menjelaskan soalnya, lebih baik dipisahkan di antara kedua soal itu.
            Soal pertama ialah masuk ke negeri-negeri Melayu.
            Soal kedua, pembawanya orang Arab atau orang Islam India dan Parsi.
            Menilik bahwasanya alat perhubungan pada masa itu ialah kapal layar, belum lagi kapal-kapal besar sebagai sekarang yang dapat melalui lautan dengan jarak jauh, niscaya tidak ada kemungkinan yang lebih dekat daripada kebenaran bahwa pantai Malabar memang menjadi tempat persinggahan besar daripada kapal-kapal Arab yang berlayar berniaga ke sebelah timur pada masa itu.
            Jalan ditempuh keduanya. Pertama menyusur pantai Lautan Merah atau dari pantai sebelah selatan melalui Sungai Sind yang besar itu. Yang menyusur pantai Lautan Merah menyusur pula sampai ke pantai Malabar. Jika angin baik, karena dapat langsung menuju pelabuhan Kulam. Yang melaui Selat Parsi, bertemu lagi di Laut Benggala dan menyamakan haluan menuju Kulam.
            Pemusatan pertama ialah Basrah dan Siraf, kemudian itu Oman, dari sana menuju pulau Ceylon, atau Malabar atau Koromandel. Kemudian itu perhentian yang ramai terletak di tanah Melayu, iaitu di Kalah. Setengah orang mengatakan Kalah itu ialah tanah genting Kra. Setengahnya lagi mengatakan Kedah, dan pendapat terakhir (dari Prof. Fatemi, professor tetamu di Universiti Malaya) ialah Klang.
            Rowlandson berkata; ‘Orang Islam Arab itu sejak pertama-tama sekali telah menetap di tepi pantai Malabar, di akhir abad ketujuh’.
            Dikuatkan pula pendapat ini oleh Francis Day dan diperteguhkan lagi oleh Sturrock ‘Sudah dimaklumi bahwasanya pedagang Parsi dan Arab telah menetap sejak dari abad ketujuh dan lama sebelumnya di pantai-pantai sebelah Barat India itu, terpencar-pencar di berbagai tempat dan kawin dengan perempuan bumiputera. Dan koloni mereka teristimewa di pantai Malabar adalah besar dan penting’.
            Yang giat melakukan pelayaran dan perniagaan itu ialah orang Arab, orang Arab dari Oman, Hadramaut, Syamar, dan Bahrein.
            Oleh sebab kekuatan politik terpegang di tangan mereka, maka dengan sendirinya terpegang pulalah di tangan mereka kendali ekonomi. Perniagaan dan pengembaraan ke Timur itu telah sangat subur di zaman bani Umaiyah, dan lebih subur lagi di zaman bani ‘Abbas. Mereka telah mendirikan koloni dan perkampungan di pantai Malabar, dan sampai kepada zaman sekarang ini, golongan mereka itu, yang di sana dinamai orang kaum ‘Mepalla’ diakui sebagai turunan Arab, dan mereka teguh memegang Mazhab Syafi’i, sebab Mazhab Syafi’i telah tumbuh dengan suburnya di pantai sebelah Utara Tanah Arab itu sejak abad-abadnya yang pertama.
            Al-Mas’udi yang singgah di sana pada abad kesepuluh (916M) mendapati tidak kurang daripada 10,000 orang Arab yang berasal dari Siraf, Oman, Basrah dan Baghdad; lain dari keturunan-keturunan mereka yang ibunya adalah perempuan bumiputera. Niscaya mereka itu terus berhubungan dengan tanah asalnya dan mengembara pula berniaga ke sebelah Timur.
            Peperangan yang diambil oleh Muslim dari Parsi, tentu ada juga. Tetapi tidaklah dia yang pertama dan utama. Apatah lagi pada masa itu orang Parsi sendiri pun telah tenggelam ke dalam kebudayaan Islam yang sebahagian besar ditelan oleh suasana Arab. Sehingga meskipun dalam perkembangan Islam itu sendiri terdapat orang-orang yang berdarah Parsi, namun kebudayaan, cara berfikir, hasil usaha mereka semuanya adalah Arab, seumpama Imam Ghazali, Abdul Qadir Jailani, Abu Yazid Bistami, yang semuanya itu, ada yang sedikit darah campuran Parsi dan ada yang banyak, namun mereka disebut dan merasa bangga jika disebut Arab. Bahkan Perawi Hadis yang sangat terkenal Imam Bukhari, dari Asia Tengah, dengan bangga membangsakan dirinya kepada ‘Al-Ju’fiy’, sebab Kabilah bani Ju’uf dari Yamanlah yang diutus oleh Khalifah membawa Islam ke negeri Bukhara itu.
            Adapun setelah abad-abadnya yang kemudian, iaitu setelah kekuasaan Islam merata di Hindustan sendiri, misalnya di dalam abad ketiga belas dan seterusnya, memanglah bukan bangsa Arab saja lagi yang mengembara ke negeri-negeri Melayu. Dan cara berfikir pada masa-masa yang demikian, jauhlah berbeda dengan zaman sekarang. Setiap yang datang menunjukkan betapa hubungannya dengan orang Arab. Banyak keturunan kaum Sayyid, keturunan Rasulullah datang dari Hindustan atau dari Parsi dan banyak pula keturunan sahabat-sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Dan pada masa itu orang-orang negeri Melayu sendiri pun telah mulai berhubungan langsung dengan Tanah Arab sendiri, sehingga seorang guru Sufi yang besar Syeikh Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-jawi telah pergi ke Tanah Arab, sampai dia sendiri pun menjadi guru di sana dan memberikan ijazah kepada murid-muridnya. Di antara murid yang diberinya ijazah ialah Abdullah Al-Yafi’iy, seorang Ulama Tasawuf yang besar (1300-1376M); pengarang kitab Raudhur-Raiyahin fi Hikayatis Salihin.     
Kepercayaan Turun Temurun
            Percubaan mengatur secara ‘ilmiah’ agar orang dapat menerima bahwa agama Islam di Indonesia bukanlah diterima langsung dari Tanah Arab atau dari orang Arab, nampaknya adalah sebagai satu percubaan yang amat teratur untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tadi tentang hubungan rohani yang mesra di antara mereka dengan Tanah Arab atau orang Arab sebagai sumber pertama dari Islam.
            Menjadi kepercayaan dengan pegangan turun temurun dalam sejarah pada seluruh negeri-negeri Melayu, bahwasanya mereka menerima Islam dari Arab, atau dari salah seorang Syeikh atau seorang Saiyid atau seorang Waliullah dari Arab.
I
            Yang pertama sekali, seketika menceritakan asal-usul masuknya agama Islam ke negeri Samudera Pasai, bahwasanya Syarif Makkah menyuruhkan Syeikh Ismail dari negeri Makkah datang ke Samudera Pasai, dan supaya dia singgah di negeri Mu’tabar (Malabar) menemui seorang ahli agama Islam yang akan bertugas menyebarkan agama Islam di negeri itu. Orang yang akan ditemui di Malabar itu ialah Sultan Muhammad, dia adalah keturunan daripada Sayidina Abu Bakar As-Siddiq, sahabat Nabi yang utama. Maka oleh karena tertarik hatinya hendak menyebarkan agama Islam, ditinggalkannya kerajaannya, lalu dia hidup sebagai ‘fakir’. Iaitu menjadi ahli tasawuf. Maka dipanggilkanlah dia ‘Fakir Muhammad’.
            Meskipun cerita ini berupa setengah dongeng, namun dia adalah jelmaan dari kebenaran. Agama Islam masuk ke negeri-negeri Melayu, ialah langsung dari sumbernya. Tanah Arab atau Makkah Al-Mukarramah dan singgah di Malabar yang singgah adalah seorang Syaikh utusan Syarif Makkah dan yang disinggahi adalah seorang bekas raja yang telah menjadi Sufi dan keturunan Sayidina Abu Bakar.
II
            Ketika Permaisura hendak pindah daripada agama Hindu kepada agama Islam, dan akan menukar namanya dengan nama Islam, baginda bermimpi bahwa akan datang besok pada waktu Asar sebuah kapal dari Jeddah, membawa orang yang akan membawanya ke dalam agama yang benar dan akan menukar namanya dengan nama Nabi.
            Besoknya memang datanglah orang yang ditunggu itu, iaitu Sayid Abdul Aziz yang datang dari Jeddah dengan sebuah kapal.
            Orang Arab juga.
III
            Kemudian tersebut pula bahwasanya yang mula-mula membawa agama Islam ke negeri Acheh, yang lain dari kedatangan utusan Syarif Makkah dahulu itu ialah Syeikh Abdullah Arif yang datang dari Tanah Arab. Muridnya Burhanuddin menyebarkan ajaran agama Islam di Sumatera Barat, Pariaman.
IV
            Maulana Malik Ibrahim yang dipandang sebagai pelopor utama penyiaran Islam di Tanah Jawa, yang disebut juga dengan Maulana Maghribi, yang dikatakan datang dari Kasyan (Parsi) dikatakan pula bahwa beliau adalah keturunan Nabi Muhammad, bangsa Sayid. Keturunan daripada Ali Zainal Abidin cucu Ali Bin Abu Thalib.
V
            Sunan Gunung ‘Jati’ yang datang dari Pasai itu, dijelaskan lagi bahwa beliau adalah bangsa Sayid juga, keturunan Rasulullah s.a.w. Disebut namanya Syarif Hidayatullah atau Fatahillah, atau Falatehan, atau nama-nama lain yang selalu menunjukkan kedudukannya sebagai keturunan Bangsawan Quraisy, sehingga bangsawan-bangsawan Bantam dan Cirebon dengan tidak merasa syak lagi, mengakui dirinya adalah keturunan Rasul.
VI
            Dalam riwayat masuknya Raja Kedah pemeluk agama Budha ke dalam agama Islam Maharaja Marong Mahawangsa, dikatakan pula bahwasanya yang datang ke sana ialah Syeikh Abdullah, seorang alim bangsa Arab.
VII
            Dalam catitan Raja-raja Maluku, iaitu Tidore, Bachan, Ternate dan Jailolo, mereka keempatnya adalah keturunan daripada empat saudara, putera daripada Imam Ja’afar Sadiq, keturunan Rasulullah.
VIII
            Tersebut di dalam catitan sejarah Raja Tidore yang masih belum beragama, bernama Chireli Lijatu, pemeluk agama Islam dan ditukar namanya menjadi Sultan Jamaluddin karena seruan dari seorang Syeikh dari Tanah Arab bernama Syeikh Mansur. Terjadi pada permulaan abad keenam belas.
IX
            Tersebut di dalam sejarah masuknya agama Islam ke Sukadana (Kalimantan), karena datang seorang Syeikh dari Makkah, namanya Syeikh Syamsuddin membawakan hadiah ‘oleh-oleh’ dari sana iaitu sekeping Kitab Suci Al-Qur’an dan sebentuk cincin bermata aqiq Yamani. Baginda pun merasa mendapat kehormatan besar atas kedatangan Syeikh bersama dengan hadiahnya itu, sehingga baginda pun memeluk agama Islam dan menurut pula seluruh rakyatnya. Lalu baginda memakai gelar Islam, iaitu Sultan Muhammad Syafiuddin (Wafat pada tahun 1677M).
X
            Raja-raja Brunei  (sampai sekarang) mempunyai pegangan bahwa nenek moyang mereka adalah bangsa Arab, keturunan Nabi).
            Masih di zaman Raja Islam yang pertama, iaitu Sultan Muhammad I yang sebelum Islam bernama Awang betatar, datanglah ke Brunei seorang alim dari Tha’if negeri Makkah, namanya ialah Syarif Ali. Beliau sangat bersungguh-sungguh mengembangkan agama Islam di negeri itu, lalu dikawinkan dengan seorang puteri kerajaan, anak daripada saudara Sultan, iaitu Bendahara Patih Berabai. Setelah Sultan Muhammad I itu mangkat, dia digantikan oleh adiknya itu, Bendahara Patih Berabai, memakai nama Sultan Ahmad I. Dan setelah baginda ini mangkat, karena tidak mempunyai anak, diangkat oranglah menantunya Tuan Syarif Ali itu menjadi Sultan Brunei yang ketiga, dengan tetap memakai gelar Sultan Syarif Ali.
            Baginda Sultan Syarif Ali itu mangkat pada permulaan abad kelima belas. Digantikan oleh puteranya Sultan Sulaiman.
XI
            Masuknya agama Islam ke pulau Mindanao adalah di dalam abad kelima belas juga. Yang mula-mula membawanya ialah ‘Syarif’ Kebungsuan yang datang dari negeri Johor. Kapten Thomas Forst, yang menulis catitannya dalam tahun 1775M., mengakui bahwa orang Arab yang mula-mula masuk pulau Mindanao 300 tahun yang lau, adalah keturunan-keturunan Syarif dari Makkah. Kuburnya masih didapati, terbuat daripada batu-batu merjan bukit yang tegap (M. S. 201-313)
XII
            Dalam catitan sejarah Pulau Sulu (Filipina) memeluk Islam yang datang ke sana ialah Sayid Abdul Aziz yang dahulu telah mengislamkan Sultan Muhammad Syah di Melaka (Permaisura) itu juga.
            Kemudian datanglah penyair Islam yang kedua, orang Arab juga, namanya Abu Bakar. Dia datang ke sana sesudah melalui Palembang dan Brunei. Sesudah dia barulah datang seorang bangsawan dari Minangkabau, Rajo Bagindo.
XIII
            Kemudian itu tidaklah dapat kita abaikan betapa penghargaan dan kemuliaan yang diterima oleh keturunan Arab, terutama yang berbangsa Sayid, meskipun kedatangan mereka adalah pada zaman-zaman agak terakhir.
1.      Setelah raja-raja perempuan memerintah di Aceh empat kali, maka naiklah raja-raja Aceh yang dari keturunan Arab menjadi Raja, Sultan keturunan Arab yang pertama ialah Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702M.) jadi di permulaan abad kedelapan belas. Yang menggantikannya bangsa Syarif juga, iaitu Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui bin Syarif Ibrahim.
2.      Beberapa orang Hulubalang di Aceh sampai zaman habisnya kedudukan Hulubalang itu (1946), adalah keturunan-keturunan Arab.
3.      Sultan Siak Seri Inderapura ialah dari keluarga Ba’alawi bin Syahab.
4.      Sultan-sultan di Pontianak ialah dari keturunan Ba’alawi; ‘Al-Qadri’.
5.      Raja-raja negeri Perlis (Tanah Melayu) ialah dari keturunan Ba’alawi; Jamalullail. (Seketika buku ini disusun Yang Dipertuan Agung, Kepala Negara Yang Tertinggi dari Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu ialah Raja Perlis; tuanku Syed Putera ibni Almarhum Syed Hasan Jamalullail).

Inilah kita kemukakan berapa ‘fakta’ yang kita pun insaf bahwa beberapa di antaranya adalah ‘dongeng’ agaknya, seumpama catitan Sejarah Raja-raja Maluku yang mengatakan bahwa nenek moyang mereka Sayidina Ja’far Sadiq. Atau sebuah dongeng turun temurun di Nusatenggara, bahwa dahulu kala ada sebuah negeri besar di antara Kerajaan Dompu dengan Bima; Rajanya mengolok-olok seorang bangsa Sayid yang datang mengajarkan agama Islam ke tempat itu, dikecuhnya Sayid itu, sehingga termakan olehnya daging babi. Maka tidak berapa saat setelah Sayid itu meninggalkan tempat itu, meletuslah Gunung Tambora dan habislah musnah negeri itu ditimpa laba gunung. Atau sebuah dongeng lain di Tenggarong (Ibu Negeri Kerajaan Kutai), bahwa yang membawa agama Islam ke tempat itu ialah seorang Sayid datang dari Demak, mengenderai seekor ikan todak.
      Mana yang dongeng tetaplah menjadi dongeng. Tetapi timbulnya dongeng adalah karena ada suatu kenyataan, yang kelaknya mendorongnya untuk jadi dongeng. Iaitu peranan orang Arab amat besar dan tidak dapat disungkut-sungkut atau dibungkus-bungkus demikian saja dalam penyiaran agama Islam di negeri-negeri Melayu ini.
Prof. Snouck Hurgronje, salah seorang pelopor yang amat penting di dalam mengemukakan bahan-bahan bahwa pengaruh Parsi atau India (Malabar-Koromandel) yang lebih benar di dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam di negeri-negeri Melayu ini, beliau pun tidak dapat mengelakkan pengakuan bahwasanya pengaruh Arab atau Makkah atas kehidupan Islam di pulau-pulau ini, sangatlah kuatnya. Lebih kuat daripada di Turki, atau Hindustan, ataupun di Bukhara sendiri.
      Maka pengaruh yang sangat besar inilah rupanya, yang sangat terasa di dalam abad-abad kedelapan belas dan kesembilan belas, di waktu perjuangan menanamkan penjajahan Belanda di Indonesia dan Inggeris di Tanah Melayu sedang sangat memuncak. Maka penghalang terbesar dari penanam penjajahan itu ialah rasa hubungan yang mesra dengan Arab itu.
      Maka diselidikilah dengan segenap usaha yang bersifat ilmiah, sehingga ‘terbuktilah’ bahwa Islam masuk ke Indonesia tidaklah asli dari tanah Arab dan tidaklah penting peranan yang diambil oleh orang Arab. Pengaruh Parsi lebih banyak di dalamnya, pengaruh Syi’ah pun lebih banyak di dalamnya. Dikemukakan pula bahwasanya Islam di sini datang dari Koromandel dan Malabar; sebab di sana orang menganut Mazhab Syafi’i tetapi tidak diterangkan bahwasanya pemeluk Mazhab Syafi’i di Malabar itu adalah orang Arab, atau keturunan Arab. Ada yang keturunan Syarif dari Makkah, atau keturunan Sayid dari Hadramaut, atau keturunan Saiyidina Abu Bakar yang menetap di Malabar.
Kesimpulan
            Teranglah dari fakta sejarah, bahwa telah datang utusan dari Tanah Arab ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 Masihi dan melawat ke negeri Kalingga, pulang kembali setelah memerhatikan betapa besarnya pengaruh agama Hindu dalam negeri itu, sehingga taktik penyiaran agama Islam ke negeri-negeri Melayu tidak perlu dijalankan dengan kekerasan melainkan menurut kehendak agama Islam itu sendiri. Tidak ada paksaan dalam agama.
            Teranglah bahwa pada tahun 684M., telah ada koloni orang Arab di Sumatera Barat.
            Dan teranglah bahwa sejak abad kesembilan belas telah banyak dibicarakan nama-nama pelabuhan-pelabuhan di negeri-negeri Melayu, Kalah. Ada yang memberi arti Tanah Genting Kra. Ada yang memberi arti Kedah. Dan paling akhir ada yang memberi arti Klang.
            Teranglah bahwa sampai kepada abad kelima belas, sebelum muncul bangsa Portugis, perniagaan di Lautan Hindi, sampai ke Tiongkok, melalui pulau-pulau Melayu, adalah seluruhnya di tangan orang Arab. Bahkan Alfonso de Albuquerque seketika hendak menyerang Melaka, dan dalam pertualangannya membuat pusat perniagaan di Goa memakai penunjuk jalan orang Arab.
            Jatuhnya Baghdad karena serangan bangsa Mongol Tatar pada pertengahan abad ketiga belas, menyebabkan pindahnya pusat kegiatan Islam ke Mesir di tangan Raja Mamalik. Kepindahan kegiatan ini menjadikan pantai-pantai Lautan Merah lebih hidup hubungan lautnya daripada pantai Basrah, sehingga lebih mudahlah pelayaran menuju negeri-negeri Melayu dan mendapat perhatian dari Syarif Makkah sendiri tentang penyebaran Islam yang lebih giat.
            Sehingga Sultan-sultan di Samudera Pasai memakai nama Sultan-sultan Mamalik di Mesir; Al-Malikus-Saleh, Sultan pertama, diambil dari nama Al-Malikus-Saleh Ayub, pembangun Kerajaan Mamalik yang pertama. Sultan kedua Al-Malikuz-Zahir, seorang Sultan yang teguh mengembangkan Islam dan menganut Mazhab Syafi’i, mengambil nama dari Sultan Mesir yang kedua Al-Malikuz-Zahir Baibars. Yang seorang lagi memakai gelar Al-Malikul-Mansur Qalawuun’, (1279-1290M.). Dan Raja-raja Pasai itu sezaman dengan permulaan kerajaan Mamalik di Mesir itu.
            Kemudian itu, di tahun 1453 (di zaman pemerintahan Sultan Mansur Syah) Melaka, jatuhlah Kota Constantinopel ke tangan bangsa Turki, di bawah pimpinan Sultan Muhammad ‘Al-Fatih’ (Penakluk). Dari sebab itu tertutuplah jalan perniagaan bangsa-bangsa Eropah, terutama mencari rempah-rempah, sehingga rempah-rempah di Eropah menjadi sangat mahal harganya. Lalu dicarilah jalan lain ke India. Di tahun 1486 sampailah Bartholomeus Diaz ke hujung Afrika Selatan, dan oleh karena kerasnya angin di sana, dinamainya Tanjung itu Tanjung Topan. Nama yang buruk itu ditukar oleh Raja Portugis menjadi Tanjung Pengharapan Yang Baik, karena ada harapan mencapai ’Hindia’.
            Meskipun Islam mendapat laba menaklukkan Constantinopel pada tahun 1453 Islam ditimpa kemalangan karena jatuhnya Kerajaan Islam paling akhir di Sepanyol, iaitu kerajaan Granada pada tahun 1492. Maka pada tahun itu juga Raja Ferdinand dari Castilia dan Ratu Isabella dari Aragon memberi bantuan bagi Columbus untuk perjalanan mencari ‘Hindia’ kiranya Benua Amerikalah yang bertemu.
            Maka pada abad-abad kelima belas itu, meskipun peranan pelayaran telah jatuh ke tangan Portugis, kegiatan Islam telah tumbuh di Hindustan. Kerajaan bani Tuglug dari keturunan Turki telah bertakhta di negeri Delhi. Meskipun dari jalan laut orang Arab tidak mendapat peluang luas selama akhir abad kelima belas itu, namun mereka menempuh juga jalan darat. Mereka telah mendapati pangkalan Islam yang kuat untuk bertapak; pertama Kerajaan Pasai di Aceh, kedua Kerajaan Islam Melaka.
            Di zaman Pasai dan Melaka saudagar-saudagar Islam dari Arabia, dan ulama-ulama Islam, disertai oleh saudagar-saudagar dari Parsi, Delhi, Malabar, dan Koromandel pun datanglah mengadu untungnya baik dalam keuntungan duniawi, dan terutama sekali dalam keuntungan rohani.
            D permulaan abad keenam belas, sebagai ganti Melaka berdirilah Kerajaan Aceh di Sumatera dan kerajaan Demak di Jawa. Disusul kemudian oleh Kerajaan Bantam. Kerajaan-kerajaan itu berjuang melepaskan perniagaan Indonesia dan pulau-pulau Melayu dari kungkungan Portugis, dan hubungan dari tanah daratan Hindustan atau dengan Parsi, apatah lagi dengan Tanah Arab berjalan lancar. Bukan saja dari Makkah ulama-ulama Islam datang, bahkan juga dari Turki. Sebaliknya orang-orang Melayu sendiri pun mengembara ke sana.
            Kemudian itu bertambah hilanglah kesukaran hubungan itu, demi setelah masuk abad ketujuh belas. Raja Mataram atau Bantam, atau Raja Aceh telah mengirim utusan ke Delhi, Turki, dan kepada Syarif Makkah. Kadang-kadang memohonkan pengesahan gelar Sultan karena hendak mengambil ‘berkat’ dari pengakuan Syarif di Makkah itu. Padahal sudah dimaklumi bahwa sejak abad keenam belas Syarif Makkah tidak berkuasa apa-apa lagi, karena telah di bawah naungan Kerajaan Turki, dan sebelum itu di bawah naungan Mamalik.
            Sejak abad ketujuh belas itu, mulailah datang pengembara dan penyebar agama Islam dari Hadramaut, dan mulai pula banyak orang negeri-negeri Melayu naik haji dan menuntut ilmu ke Yaman, Hadramaut, Makkah, Madinah, Syam, dan Mesir. Seorang di antara Ulama Besar Islam dari Sulawesi, yang masyhur dalam ilmu Tasawuf ialah Syeikh Yusof Tajul Khalwati. Dia menuntut ilmu sampai ke Aden, Yaman, Makkah, Madinah, Syam, dan sampai ke Turki. Pada masa itu pula Sultan Agung Tirtayasa menitahkan puteranya Sultan Haji naik haji, sambil menambah-nambah pemandangan ke Istanbul.
            Maka hubungan negeri-negeri Melayu dengan Arab itu telah lama ada, menurut bukti-bukti yang kita kemukakan itu. Hanya terkendur sebentar saja, iaitu di hujung abad kelima belas sampai kepada sedikit pangkal dari abad keenam belas.
            Dengan demikian tidak pulalah kita mungkiri betapa jasa pemeluk Islam yang bukan Arab, terutama dalam abad kelima belas itu. Hubungan ke sana amat lancar. Sehingga bukan saja orang Arab yang berniaga atau mengajarkan Islam ke negeri-negeri Melayu. Bahkan amat penting pula peranan orang Islam yang datang dari Parsi, atau Hindustan, bahkan juga dari Tiongkok. Jasa Cheng Ho saja pun, utusan Kaisar Tiongkok, Duta Besar Berkeliling dan Berkuasa Penuh, lagi Laksamana yang memeluk agama Islam turun temurun bermazhab Hanafi, ayahnya haji, ibunya haji, bukan sedikit pengaruhnya di dalam memperkuat Islam di negeri-negeri Melayu ini.
            Ulama Syi’ah pun ada datang ke mari, terdapat kuburnya di Aceh. Tetapi kedatangan Ulama-ulama Syi’ah pada abad kelima belas itu tidaklah dapat menggantikan kedudukan mazhab Syafi’i Sunnah itu, yang telah menjadi mazhab rasmi sejak Kerajaan Pasai, di abad keempat belas, bahkan sebelumnya, dan menjadi mazhab rasmi pula dari Kerajaan Melaka. Sebab di samping ulama-ulama bermazhab Syi’ah dari Parsi, pun tidak kurang pula datang ulama Syafi’i dari Parsi juga As-Sayid Asy-Syirazi, yang diangkat menjadi Kadi Besar oleh Sultan Al-Malikuz-Zahir di Pasai, tidaklah akan dapat mencapai pangkat agama setinggi itu, kalau beliau bukan bermazhab Syafi’i. Yakni bila mengingat dalamnya jurang antara Sunni dan Syi’ah, terutama di waktu itu. Sebab di Iran sendiri sebelum kerajaan Shafawi (permulaan abad keenam belas) masih banyak ulama-ulama bermazhab Sunni. Di antaranya ialah Abu Ishaq Asy-Syirazi, yang juga orang Iran, yang dilahirkan di Syiraz bukanlah dia orang Syi’ah, tetapi bermazhab Syafi’i (1002-1083M.). Beliau adalah guru daripada Imam Ghazali dan beliau adalah pembangun dari Madrasah Nizhamiyah.
            Memang didapati kuburan Ulama Syi’ah, di Pasai, tetapi di samping itu didapati pula kuburan seorang Ulama Sunni, keturunan Khalifah-khalifah bani Abbas, iaitu Al-Amir Muhammad bin Abdul Qadir, keturunan Khalifah Al-Muntasir Al-Abbasiyah iaitu Khalifah yang nombor dua dari yang penghabisan (Al-Musta’sim), yang meninggal di Pasai pada 23 haribulan Rajab tahun 822H., (bersetuju dengan 15 Ogos 1419M.).
            Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwasanya mazhab utama sejak permulaan ialah Mazhab Syafi’i dalam lingkungan Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Mazhab pegangan yang umum daripada orang Arab dan keturunan Arab di pantai Malabar Koromandel.
            Tersangat dalamnya pengaruh mazhab Syafi’i itu menjadi bukti yang tidak dapat diabaikan sebagai pelopor utama daripada penyiaran Islam di negeri-negeri Melayu ini ialah orang Arab. Di samping itu ada pula orang Iran, baik yang menganut mazhab Sunni mahupun yang Syi’ah, sehingga tinggal bekas-bekas adat istiadat dan kebesarannya tetapi tidak menjadi kepercayaan dasar. Seketika orang Portugis telah masuk, dibawanya juga orang-orang Sipahi yang bermazhab Syi’ah, mereka merayakan ‘Tabut’ Hassan Husain di pesisir Sumatera barat, bertemu juga bekasnya beberapa masa kemudian. Sehingga kalau ada orang bertabut di Pariaman, Padang Panjang dan Bangkahulu maka yang menjadi pawang tabut itu ialah keturunan-keturunan orang Sipahi itu.
            Adapun kalau kita hendak mengemukakan beberapa pengaruh adat istiadat kebiasaan Parsi di negeri-negeri Melayu, maka haruslah yang demikian itu kita sambungkan pula kepada pengaruh Iran (Parsi) di negeri Islam yang lain, bahkan di Turki sendiri. Pengaruh ajaran Imam Ghazali orang Iran, dan Abdul Qadir jailani orang Iran, Ibnu Sina orang Iran, bukanlah di tanah-tanah Melayu saja, bahkan di seluruh Dunia Islam. Maka kalau dipandang dari segi tasawuf, filsafat, kesenian, kebudayaan, tidaklah layak kita mempersempit pengaruh bangsa Iran ke dalam pertumbuhan Islam kepada tanah-tanah Melayu saja. Tetapi lebih luas dari itu, dia meliputi sampai seluruh Dunia Islam; sampai-sampai ke Tanah Arab sebelah Barat (Maghribi), hingga pundi zaman kejayaan Islam di Sepanyol.        
Dari Abad Ke Abad
            Telah sama diketahui daripada dua buah catitan penting orang Tionghua itu, bahwasanya di abad pertama dari Islam, atau abad ketujuh Masihi orang Arab telah datang ke tanah Jawa pada tahun 674-675M., dan telah mendirikan kampung di pantai Sumatera Barat pada tahun 684M. Yang pertama ialah pada tahun 52 Hijrah dan yang kedua pada tahun 62 H. Yang pertama pada zaman pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pendiri Kerajaan bani Umaiyah yang kelima, Abdul Malik bin Marwan.
            Kalau belum ada berita lain yang membatalkan berita orang Tionghua ini, yang dapat dipercaya menurut ukuran ilmiah, maka berita masih tetap pada kekuatannya. Jadi nyatalah bahwa orang Islam telah datang ke pulau-pulau Melayu (tegasnya Indonesia) pada abadnya yang pertama.
            Dalam bukunya yang bernama ‘The Effect of Western Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago’, kumpulan buah fikiran Prof. Dr Schrieke halaman 35, beliau menyebutkan karangan Ferrand dalam bukunya ‘L’Empire Sumatranais’; kita salin ke dalam bahasa Melayu; ‘Di halaman lain kami membaca (Ferrand hal. 7) tentang sebuah armada terdiri daripada 35 buah kapal-kapal Parsi, belayar meninggalkan pulau Ceylon dalam tahun 717M., menuju Sriwijaya (jadi Palembang), dan tinggal di sana lima bulan lamanya, kemudian melanjutkan pelayaran ke Tiongkok’.
            Janganlah ragu bahwa ke-35 buah kapal itu adalah Arab, meskipun dalam catitan Ferrand yang disalin Prof. Schrieke itu disebut kapal Parsi. Karena pada tahun 717 Masihi kekuasaan Arablah atau lebih tepat kekuasaan Islamlah yang telah meliputi Tanah Iran. Zaman itu ialah masa pemerintahan Khalifah bani Umaiyah yang ketujuh, Sulaiman bin Abdul Malik, bertepatan dengan tahun 98 Hijrah, artinya massih di dalam abad yang pertama, meskipun telah di hujung.
            Kalau kita ingat bahwa 2 tahun sebelum itu (715M.), Angkatan Perang Islam di bawah Panglima Muhammad bin Qasim telah sampai menginjak bumi Hindustan, ingatlah kita bahwasanya tanah Iran khususnya dan Tanah Asia Tengah umumnya pada masa itu telah di dalam kekuasaan bani Umaiyah. Jika ada kapal belayar dari Iran, adalah itu kapal Arab.
            Sekarang nyatalah bahwasanya dalam abad kedelapan masih tetap bersambung pengembaraan ke pulau-pulau Melayu yang telah dimulai pada permulaan Islam itu. Tidak terputus, karena Sriwijaya pada masa itu dalam puncak kemegahannya. Saudagar-saudagar dari Arab dan Parsi dan Hindustan berniaga; membeli hasil bumi di Sriwijaya dan menjual kain-kain tenunan indah.
            Meskipun pengarang-pengarang geografi Arab belum menyebutkan keadaan pulau-pulau ini sebelum abad kesembilan, dengan keterangan Ferrand yang dikuatkan oleh Prof. Schrieke itu sudahlah dapat disambungkan tali rantai yang nyaris hilang. Dan dapatlah sekarang kita fahami bahwa pelayaran dan perniagaan telah ramai sejak abad ketujuh dan kedelapan, dan di dalam abad kesembilan barulah penyelidik-penyelidik geografi meletakkan perhatian, setelah menerima berita-berita daripada orang yang kembali dari pelayaran itu.
            Maka setelah abad kesembilan terus kepada abad kesepuluh, ramailah ahli-ahli ilmu bumi bangsa Arab dan Parsi membicarakannya;
1.      Ibnu Khardazbah (820-855M.). Pegawai Pos dan Berita. Pengarang Kitab ‘Al-Masalaik wal Mamalik’ yang sangat banyak dijadikan bahan di dalam menyelidiki ilmu bumi dan sejarah.
2.      Ibnu Faqih (wafat tahun 902M.); Nama lengkapnya Abu Bakar Ahmad bin Al-Faqih Al-Hamdani.
3.      Ibnu Rustah (wafat tahun 903M.), gelarnya Abu Ali, seorang Ulama dari Isfahan. Bukunya ‘Al-A’laqun Nafisah’ menerangkan kota-kota dan Bandar yang pernah dilawatinya. Diterangkannya pula di dalamnya ilmu bumi dan ilmu falak.
4.      Saudagar Sulaiman (wafat tahun 916M.). Pengembara dan ahli sejarah. Bukunya yang bernama ‘Silsilatut-tawarikh’ yang membicarakan pengembaraannya di Hindustan, Tiongkok dan negeri-negeri yang disinggahinya di Nusantara ini amat penting dijadikan orang bahan penyelidikan.
5.      Al-Mas’udi (wafat tahun 956M.), gelarnya Abul Hasan. Bukunya yang terkenal ialah ‘Murujuz-Zahab’. Dia lahir dan hidup di Baghdad, lalu mengembara ke Parsi, Karman, Hindustan, Ceylon dan Tiongkok. Kemudian ke Madagaskar, Asia Tengah, Azerbaijan, Jurjan, Syam, Palestin dan Mesir.
Dari mereka-mereka ialah orang mendapat kata-kata Kalah, Zabag, Surbuza, Sarirah dan lain-lain yang kian lama kian terang setelah diselidiki bahwa semuanya itu adalah di pulau-pulau Melayu dan Semenanjung Tanah Melayu.
Adapun kedatangan Ibnu Batutah adalah yang terakhir iaitu di pertengahan abad keempat belas (1345 dan 1346 Masihi), sehingga boleh dikatakan bahwa dia telah mendapati saja adanya sebuah kerajaan Islam di pantai utara Aceh, iaitu Pasai Samudera.
Malahan sebelum kedatangan Ibnu batutah sekalipun, telah timbullah di Mesir suatu ‘dongeng’ yang terkenal, yang sekarang telah termasuk salah satu karya kesusasteraan dunia yang besar, iaitu ‘1001 Malam’. Dalam kisah pelayaran Sinbad banyaklah disebut tentang pengembaraannya di pulau-pulau yang keadaannya sangat menyerupai keadaan pulau-pulau Melayu, dan disebutnya pula pulau Waq-waq yang amat lama diselidiki orang, memang sebenarnya adakah pulau itu atau hanya khayal saja. Kemudian ternyatalah bahwa pulau Waq-waq itu tidak lain tempatnya hanyalah kepulauan Melayu juga iaitu Fak-fak.
Abad Kesepuluh
            Dalam tahun 1958 Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok menyatakan bahwa telah didapati kuburan seorang Raja dari Indonesia, iaitu dari Kalimantan, di negeri Tiongkok sendiri. Dan memang bertemu dalam sejarah Brunei sendiri bahwasanya dalam tahun 1404 utusan Kaisar Tiongkok, Cheng Ho yang terkenal, dan memeluk agama Islam telah membawa Raja Brunei itu mengadap Serimaharaja Tiongkok, tetapi sayang sekali baginda mangkat di Tiongkok (di Nanking) dalam perjalanan itu. Sehingga tidak kembali pulang lagi.
            Tiba-tiba muncullah keterangan dari seorang orientalis bangsa Swedia bernama Eric Mjoberg yang pernah menjadi pemimpin muzium Sarawak dari tahun 1919 sampai 1926. Dia menyambut berita yang disiarkan pemerintah Tiongkok itu, bahwasanya lama sebelum perutusan Raja Brunei ke Tiongkok pada tahun 1404 itu, iaitu dalam tahun 977M. (abad kesepuluh) telah ada pula Raja Brunei yang datang mengadap Seri Maharaja Tiongkok, menyatakan bahwa negerinya tetap setia di bawah perlindungan kerajaan besar itu. Nama Sultan itu kata Dr. Eric Mjoberg adalah Sultan Abu Ali. Baginda mengadap ke Tiongkok diiringkan oleh dua orang wazirnya; keduanya orang Arab. Adapun Sultan yang mangkat di Tiongkok dalam perjalanan di tahun 1404 itu bernama Sultan Maharaja Kali, dan dalam catitan orang Tionghua disebut Manjihana. Kata Dr. Eric Mjoberg selanjutnya, mungkin Sultan yang mangkat di Tiongkok di tahun 1404 adalah keturunan daripada Sultan Abu Ali yang ke sana di tahun 977 itu.
            Bahwasanya Sang Aji Brunei pernah mengadap Kaisar di tahun 977, memang banyak tersebut dalam catitan sejarah. Tetapi Dr. Eric Mjoberg memberi penjelasan yang lebih terang lagi bahwa rajanya bernama Abu Ali dan pengiringnya adalah dua orang wazir bangsa Arab.
            Kalau diselidiki lebih mendalam, sehingga terdapat bahan-bahan kebenaran yang lebih terang, niscaya bukanlah Pasai atau Daya, Kerajaan Islam yang mula-mula di tanah Melayu ini. Hal ehwal kuburan Sang Aji Brunei (Nama ‘Berunai’ adalah yang asal bagi seluruh pulau Kalimantan, dan ditulis oleh Barat ‘Borneo’. Dalam sejarah-sejarah Tiongkok disebut ‘Puni’) berkubur di Nanking itu pernah pembahasan di dalam kalangan pengetahuan sejarah di tahun 1958, di antaranya dibicarakan oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin.

Abad kesebelas
            Menulis pula penyelidik DonaldMaclaine Campbel dalam bukunya ‘Java’ (hal. 57-58) ‘Orang Arab dan orang Parsi telah turut mendirikan perkampungan di Sumatera Barat (tentu yang dimaksudnya catitan tahun 684 itu). Pantai Gersik dan Madura pernah mereka jadikan pangkalan untuk memperbaiki kapal-kapal yang rosak dan tempat memuat barang makanan bakal berlayar. Bahkan mereka pun telah turut juga mendirikan Kerajaan Janggala, Daha dan Singhasari. Di setiap kerajaan itu orang Arab dan orang Parsi telah tinggal bermukim’.
            Jika diingat bahwasanya Raja Airlangga memecahkan Janggala menjadi dua kerajaan, iaitu Daha dan Kediri di pertengahan abad (1049), lalu dipertautkan pula dengan tulisan yang bertemu pada batu nisan seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang didapati di desa Leran (Jawa Timur) bertarikh 495H., sesuai dengan tahun Masihi 1101, maka dengan keterangan yang mana lagi kita hendak menolak bahwa masyarakat Islam, walaupun kecil, telah ada di tanah Jawa pada abad kesebelas? Iaitu 400 tahun sebelum berdiri Kerajaan Islam Demak? Dan jika Dr. M. D. Campbel telah menyebut bahwa mereka turut mendirikan Kerajaan Janggala di abad kesebelas, maka keterangannya bahwa mereka pun turut mendirikan Kerajaan Majapahit dengan sendirinya sudah tidak sulit lagi.
Abad Kedua Belas
            Karena keterangan itu dengan sendirinya telah dapat kita terima riwayat di Jawa Barat tentang Prabu Munding Sari dan abangnya Haji Purwa. Tersebut dalam riwayat itu bahwa Raja Pajajaran mangkat meninggalkan dua orang putera. Putera tertua menyerahkan kerajaan kepada adiknya, iaitu Prabu Munding Sari, lalu beliau mengembara keluar negeri, sampai ke Hindustan. Dalam perjalanan baginda bertemu beberapa saudagar bangsa Arab dan mereka memberikan penerangan keindahan Islam kepada beliau, sehingga beliau pun tertarik ke dalamnya, lau beliau terus naik Haji. Disebut Haji Purwa. Hal ini terjadi di abad kedua belas (1195). Kemudian Baginda pun pulang kembali ke tanah air, hendak mengajak seluruh keluarga kerajaan memasuki agama yang dipeluknya, tetapi tidaklah mendapat sambutan yang baik, sehingga baginda pun meninggalkan Kerajaan Pajajaran dan menghilang ke tempat lain (Cerita sejarah ini telah dicatitkan oleh Veth (3) vol. 1. P.215. Dan Raffles (ed. Of 1830), vol II. Pp. 103, 104, 183. Dibawakan lagi oleh Sir Thomas Arnold dalam bukunya Seruan Kepada Islam, hal. 416-417.).  
            Tidaklah perlu diselidiki lagi yang seterusnya ke bawah, karena yang sukar ialah memudiki sejarah dari hulu, bukan menuruti hilirannya. Masih tengah diselidiki yang disebut Kerajaan Islam Daya yang pernah berdiri di Aceh di tahun 1205, (sebelum Pasai) dan rajanya disebut Seri Paduka Sultan Johan Syah. Dan bolehlah sekarang kita meninjau kembali pegangan yang ditinggalkan oleh penyelidik-penyelidik Belanda, bahwasanya Islam masuk ke Sumatera di awal abad ketiga belas karena pada masa itulah Kerajaan Pasai berdiri dan terus ke Jawa pada pertengahan abad ke-16 karena pada masa itu pula Kerajaan Demak berdiri. Bolehlah sekarang kita bersedia buat menerima bahwasanya Islam telah masuk ke Indonesia sejak abadnya yang permulaan, dan masyarakatnya telah bertumbuh dari abad demi abad. Tetapi kerajaannya yang teratur baru berdiri dalam abad ketiga belas, atau dahulu dari itu (Brunei) dalam abad kesepuluh.
            Penyelidikan dalam hal yang amat penting ini, belumlah boleh dihentikan.
Mengapa Tak Lekas Tersiar
            Tentu timbullah pertanyaan; ‘Kalau benar bahwa sejak abadnya yang pertama bangsa Arab sebagai pelopor Islam telah datang ke negeri-negeri Melayu, mengapa baru pada abad ketiga belas ada kerajaan Islam yang patut dikatakan teratur?’
            Hal ini pun memang patut dijadikan pokok penyelidikan yang mendalam lagi mengasyikkan.
            Ada beberapa hal yang menjadi sebab penting makanya baru di abad ketiga belas Kerajaan Islam berdiri di salah satu bahagian negeri Melayu itu ialah di Pasai; dengan catitan bahwa adalah Raja Islam di Brunei pada abad kesepuluh harus menjadi bahan penyelidikan tersendiri.
            Pertama sekali ‘Pulau-pulau Melayu’ atau disebut juga ‘Jaza’ir Jawah’ (Pulau-pulau Jawa) dipandang sangatlah jauhnya dari Tanah Arab, baik dari Damaskus pusat kekuasaan bani Umaiyah atau Baghdad pusat kekuasaan bani Abbas. Bahkan sampai kepada tahun 1082 Hijrah (1670 Masihi), seketika Syeikh Mulla Ibrahim Al-Kourani Ulama Besar Madinah menjawab sebuah pertanyaan yang dikirimkan orang berkenaan ilmu tasawuf, beliau telah mengatakan tentang ‘Pulau-pulau Jawa’ itu; ‘ajaaba biha ‘an su’aalin warada min ba’dhi Jaza’iri Jawah min aqsa bilaadil Hindi’. Artinya ‘Menjawab suatu pertanyaan yang datang kepadanya daripada setengah pulau-pulau Jawa di balik negeri Hindustan yang sangat jauh itu’ (Di dalam satu risalah bernama Assikul jaliy, fi hukmi shat’hil waiy. Jawapan Mula Ibrahim Al-Qurani, Ulama Sufi yang besar di negeri Madinah. Disalin oleh Sufi yang lain yang masyhur pula bernama Abdul Ghani An-Nablusi).
            Oleh sebab jauhnya, sangatlah berhati-hati Khalifah Mu’awiyah yang mengirimkan armadanya ke kepulauan ini, sehingga perutusan yang datang ke negeri Kalingga di tahun 684M., itu pulang kembali. Utusan melihat betapa kuat kukuhnya kekuasaan Hindu di negeri ini, sehingga kalau hendak datang, hendaklah dengan armada yang kuat kukuh. Sedang perlengkapan untuk menyerang Constantinopel yang lebih dekat di zaman Mu’awiyah, tidaklah berjaya sekaligus. 800 tahun di belakang itu barulah Constantinopel jatuh ke dalam kuasa Islam.
            Setelah pada tahun 712 Masihi, Al-Hajjaj bin Yusof mengirimkan angkatan perang ke Sind (wilayah Pakistan sekarang ini) di bawah pimpinan Jenderal Muda Muhammad bin Qasim, terjadilah perlawanan yang hebat. Sejak itu sesudah beberapa abad kemudian telah datang pula pahlawan-pahlawan Islam yang lain, sejak Mahmud Ghaznawi, Muhammad Ghori, Timurlane, sampai kepada Kerajaan Mongol di India. Sejak Humayun, Akbar Syah, Jahangir gilang gemilang dalam benua itu, karena negerinya memang kaya. Penyerangan besar yang terakhir ialah Nadir Syah, pun membawa kekayaan yang berlipatganda. Tetapi apakah hasilnya? Adakah seluruh India itu takluk? Seluruh India memang pernah takluk kepada Islam. Islam pernah mendirikan Imperium besar berkali-kali di negeri itu. Tetapi hasilnya ialah bahwa orang Islam tetap menjadi ‘golongan kecil’. Sekarang dalam abad kedua puluh, setelah dua kerajaan berdiri; India dan Pakistan, bertambah jelaslah bahwa kekuasaan Islam yang lebih 1200 tahun itu tidaklah dapat merubah bahwa umat Islam tetap ‘minority’ (golongan kecil) di Hindustan, sehingga terpaksa juga akhirnya kaum Muslimin mendirikan Republik sendiri.
            Khalifah-khalifah di Damaskus dan di Baghdad niscaya tahu bahwa ada negeri besar, subur, terdiri dari pulau-pulau yang beribu banyaknya, ‘di hujung tanah Hindustan yang sangat jauh’. Apatah lagi setelah datang berita-berita yang dibawa oleh armada yang terdiri daripada 35 kapal yang singgah di pelabuhan Sriwijaya (Sungai Musi) di tahun 717M., itu. Besar sekali kemungkinan bahwa setelah mengukur kekuatan dan kemungkinan, maka penyebaran cita-cita Islam diserahkan saja kepada saudagar-saudagar Islam yang pulang balik ke India, ke Tiongkok dan singgah di pulau-pulau itu. Apatah lagi setelah 400 dan 500 tahun di belakang tidak ada lagi suatu pusat kesatuan yang kukuh dari Kerajaan Islam. Sudah ada Kerajaan-kerajaan Islam di Baghdad (bani Abbas), di Mesir (Fatimiyah) di Andalusia (bani Umaiyah) yang kadang-kadang timbul pula perebutan kuasa dan pengaruh di negeri-negeri itu sendiri, sehingga bertambah jauhlah kemungkinan mengadakan armada besar untuk menaklukkan pulau-pulau Melayu dengan expedisi tertentu itu. Lantaran itu maka tugas saudagar tadilah yang lebih penting.
            Semangat persaudagaran, iaitu ‘laba-rugi’ jauh berbeda dengan semangat suatu angkatan perang yang memperhitungkan ‘alah-menang’. Lantaran itu maka di kepulauan dan negeri-negeri Melayu berlaku sebenar-benarnyalah ayat ‘tidak ada paksaan dalam agama’. Dan membuat hubungan yang sebaik-baiknya dengan pihak yang berkuasa.
            Maka membuat perkampunganlah mereka di negeri orang Hindu itu. Di tepi pantai Aceh, di tepi pantai Sumatera Barat, di tepi pantai Jawa Utara, di tepi pantai Brunei. Oleh karena mereka orang kaya, kadang-kadang masuklah mereka ke dalam istana dan mendapat penghargaan di situ. Sampai menjadi anggota perutusan Sang Aji (Raja) Brunei. Sampai turut mendirikan Kerajaan Janggala, Daha, Singhasari, Kediri, dan Majapahit.
            Tuntutan daripada ajaran Islam sendiri pun amat jelas, untuk menjadi pegangan mereka. Peraturan Islam membagi negara-negara (Dar) kepada tiga macam saja; Darul Islam, Darul Kuffar, dan Darul Harb.  
            Negeri-negeri yang ditaklukkan oleh Islam dan telah dapat didirikan di sana hukum syariat Islam, di bawah pimpinan Khalifah, bernama Darul Islam. Negeri yang belum menerima Islam, dan pimpinan tidak di tangan Khalifah Islam, bahkan di tangan kerajaan yang bukan Islam, dinamai Darul Kuffar. Dan negeri yang sedang berperang dengan kekuasaan Islam bernama Darul Harb (negeri yang sedang berlaku padanya peperangan).
            Maka adalah peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh seorang Muslim bila dia tinggal dalam ketiga macam negeri itu. Adapun kalau tinggal di Darul Kuffar, hendaklah perhatikan, adakah kita sebagai Muslim mendapat kebebasan melakukan ibadat kepada Tuhan, diusirkah kita dari negeri itu atau tidak. Kalau tidak, maka bolehlah kita tinggal sementara dalam negeri itu sambil menyebarkan juga faham agama kita tanpa kekerasan. Tetapi kalau keadaan sudah mengizinkan, hendaklah selalu berusaha agar negeri itu menjadi Darul Islam.
            Dalam keadaan yang seperti itulah kedudukan umat Islam di kepulauan Melayu beratus tahun lamanya. Dan tidak ada kemungkinan lain daripada itu, karena kekuasaan Hindu masih kuat. Sehingga di dalam abad kedua belas, seorang Raja Pajajaran telah tertarik kepada Islam. Tetapi karena dia hendak berjalan terburu-buru, iaitu mengajak saudaranya masuk Islam (Prabu Munding Sari), gagallah langkahnya dan terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan hidup ke daerah lain yang telah ada perkampungan Islam.
            Niscaya pada masa itu orang Islam dipandang orang asing, walaupun mereka telah hidup dua tiga turunan di negeri itu. Pada masa itu orang masih memakai budak dan hamba sahaya. Orang Islam membeli budak dan memerdekakannya, lalu membawanya jadi Islam. Niscaya dengan demikian budak-budak itu terlepaslah dari masyarakat Hindu yang besar itu. Dan orang-orang Islam itu kawin pula dengan perempuan anak negeri. Niscaya keluar pulalah anak itu dari dalam masyarakat Hindu, sebab sudah bersuami ‘orang asing’.
            Barulah pada abad ketiga belas orang Islam, sempat mendirikan Kerajaan Merdeka tepi pantai Tanah Aceh Utara itu (Pasai Samudera), karena mereka telah banyak di sana. Telah ramai dan telah turun-temurun, dari perkawinannya dengan anak negeri. Tetapi mendirikan kerajaan itu pun dengan sangat hati-hati sekali.
            Mengapa baru pada waktu itu?
            Memang pada waktu itu, karena selama itu kerajaan Sriwijaya masih kuat. Sriwijaya menguasai selat Melaka. Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha itu pengaruhnya pernah sampai ke Ceylon. Di tahun 1028M., Cholamandala (Negara Hindu di India Selatan) pernah berperang dengan Sriwijaya. Maka oleh karena kekuatan angkatan laut Sriwijaya sudah sangat lemah sebab berperang sebelum itu dengan Kerajaan Madang Kemulan, mudahlah Cholamandala mengalahkannya. Sejak itu terjadi peperangan Sriwijaya dengan Singhasari, dan pernah pula Siam merebut daerah Sriwijaya di Semenanjung Tanah Melayu.
            Di saat-saat seperti demikianlah baru umat Islam dengan sentosa dapat medirikan Kerajaannya yang pertama di pantai Aceh Utara itu, di tepi pantai Selat Melaka. Dan itu pun dengan sangat hati-hati. Karena meskipun Sriwijaya telah runtuh, ancaman Kerajaan Siam dari utara masih ada, malah pernah Pasai diserang Siam dan putera mahkotanya ditawan. Dan akhirnya setelah Majapahit menggantikan kedudukan Kerajaan Hindu yang sebelumnya di Jawa, dan telah mulai kuat di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, menyerang dan menghancurkan Kerajaan Islam yang pertama itu menjadi salah satu rencana istimewa dari Kerajaan Hindu Majapahit itu.
            Dan sampai juga Kerajaan itu diserang pada tahun 1350M., (selama Gajah Mada masih hidup), atau tahun 1377M., (setelah Gajah Mada mati, tetapi Kaisar Hayam Wuruk masih hidup dan masih meneruskan politik Gajah Mada).
            Apabila Pasai telah lemah naik pulalah Kerajaan Islam Melaka. Rajanya yang beragama Hindu terus memeluk Islam, karena melihat bahwa Umat Islam dan perniagaan Islam telah sangat maju.
            Di zaman kebesaran Pasai, raja-rajanya mulailah berusaha menyebarkan Islam ke daerah yang masih belum beragama. Dan umat Islam di Jawa dan di tempat lain memandang bahwa Pasailah sendi kekuatan mereka dan perlindungan mereka, lalu mereka belajar agama Islam ke Pasai. Banyak orang Jawa berpindah ke Pasai. Dan setelah Pasai jatuh, Melaka naik, orang Islam di Jawa pun berkampung di sana.
Berjalan Terus Dalam 14 Abad
            Demikianlah perjalanan Islam dalam masa 14 abad; tumbuh sejak abadnya yang pertama dengan lambat tetapi tetap. Jarang sekali ada kekerasan, kecuali apabila telah ada pertentangan politik atau perebutan kekuasaan dengan kerajaan lain, sehingga kekerasan yang patut dicatit barulah terjadi di dalam abad keenam belas, seketika Demak memberikan pukulannya yang terakhir terhadap Majapahit yang memang telah lemah juga.
            Kadang-kadang pemeluk Islam telah ada di tepi pantai suatu kerajaan, tetapi di pusat kerajaan, agama Hindu atau Budha masih teguh. Orang Islam telah ada di pesisir Pariaman dan Tiku, yang mengalir dari Aceh di dalam abad keempat belas, sedang Seri Maharaja Diraja Aditiawarman masih menjadi Yang Dipertuan Minangkabau. Islam telah ada di pantai Jaratan, Gersik  dan Tuban, sedang Seri Maharaja Majapahit masih bersemayam di istananya yang indah.
            Pihak agama yang masih berkuasa (Hindu atau Budha atau gabungan keduanya; Syiwa-Budha) tidak pula berhenti berusaha keras hendak membendung pengaruh agama Islam itu. Dalam kesusasteraan Jawa pusaka zaman kekuasaan Hindu itu masihlah terdapat sampai sekarang, menghina atau mengejek Islam. Tetapi dengan adanya sandaran kekuasaan Islam, iaitu Pasai dan Melaka, kesusasteraan itu tidak dapat lagi menghalangi lebih berkembang biaknya Islam.
            Sampai sekarang ini sudah abad keempat belas Islam, atau abad kedua puluh Masihi, perkembangan itu masih demikian keadaannya. Masih ada negeri-negeri yang baru memeluk Islam dalam abad kedelapan belas, atau abad kesembilan belas (sebagai Kerinchi di Sumatera Barat). Padahal seketika seorang pengembara Tiongkok datang ke Lamuri di tahun 1413 didapatinya penduduk negeri itu tidak kurang dari 1000 rumah tangga, semuanya Islam. Dan Haru demikian pula.
            Islam telah masuk ke negeri Palembang dari Demak dalam tahun 1440, sedang daerah Hulu Palembang pada masa itu belum beragama. Setelah ada Sultan Palembang  barulah penduduk Komering dan Ogan diseru masuk Islam. Dan pada masa itu daerah Rejang belum lagi Islam. Daerah Rejang baru masuk Islam dalam abad kesembilan belas.
            Seketika seorang anggota perutusan Tiongkok datang ke Jawa dalam tahun 1413 (perutusan Cheng Ho), yang sebahagian besar beragama Islam, dia menerangkan bahwa penduduk dalam Kerajaan Majapahit dilihatnya terbagi tiga macam; ‘Di negeri ini terdapat tiga macam golongan. Pertama golongan Islam yang datang dari sebelah Barat dan telah tinggal menetap di sana. Pakaian mereka dan makanan mereka bersih dan enak. Yang kedua orang Tionghua yang lari dari negerinya dan menetap di sana. Makanan yang mereka hidangkan pun bagus juga. Dan banyak di antara mereka telah memeluk agama Islam dan mereka amalkan dengan baik segala ajarannya. Yang ketiga ialah penduduk asli yang sangat kotor dan busuk, pergi dan pulang tidak memakai terompah dan tidak bersongkok kepala. Mereka itu sangat percaya dan takut hantu syaitan. Oleh karena negeri mereka terkenal dalam keadaan demikian, maka di dalam kitab-kitab disebut nama negeri itu ‘Negeri Hantu’ (Groeneveld, pp. VII. 49-50).
            Kadang-kadang sebuah kekuasaan atau kerajaan Islam tidak dapat dihambat berdirinya lagi, maka yang teguh memegang kepercayaan yang lama lalu mengundurkan diri lebih dahulu, sebagai orang Badwi di Bantam, orang Tengger di gunung Bromo, orang Kubu di Minangkabau (Orang Kubu yang menurut istilah sekarang disebut ‘suku terbelakang’ masih banyak terdapat di Hulu-Jambi, dekat Sorolangun dan Rawas dan di Hulu Kuantan dan Peranap. Setelah diselidiki, ternyata bahwa mereka mengakui asal usul dari Minangkabau, memegang Adat Perpatih nan Sebatang. Pepatah Petitih Minangkabau yang indah-indah dan asli masih mereka pakai setiap hari. Kabarnya konon mereka tinggalkan daerah asalnya itu karena ‘cupak sudah dialih orang menggalas, jalan ditukar oleh orang lalu’. Tetapi mentera-mentera dukun mereka dimulai dengan ‘Bismillah’).
            Kadang-kadang masuk Islam sekampung-kampung karena mendapat seorang guru agama Islam yang sabar. Orang Dairi di Sidikalang baru massuk Islam sekampung demi sekampung pada abad kedua puluh ini (1925), bahkan sampai sekarang karena kedatangan seorang Guru dari Bayur Maninjau ke negeri itu, bernama Gindo Muhammad Ariffin.
            Kadang-kadang pegawai pemerintah Hindia-Belanda yang beragama Islam diangkat menjadi pegawai di daerah yang belum Islam, lalu dia menyebarkan ajaran agamanya sambil bekerja, maka banyaklah orang yang belum beragama Islam menjadi Muslim karena ajakan pegawai itu,sehingga Prof. Snouck Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia-Belanda supaya dihentikan mengirim pegawai Islam ke negeri yang belum Islam.
            Kadang-kadang setelah masuk penjajahan asing suatu negeri telah menerima agama Kristian dalam abad kedelapan belas (Bolang Mongandow) dan rajanya telah menjadi raja beragama Kristian (Jacob Manoppo, 1689-1709M.), dan raja-raja yang memerintah sesudah dia, sampai tahun 1844 terus beragama Kristian. Kemudian datang penyiar Islam yang pandai, di tahun 1832 seorang Arab, datang dari Makassar, sehingga lantaran kebaikan hubungannya dengan Raja Comelius Manoppo yang beragama Kristian itu, dapatlah dia kawin dengan puteri raja yang masih Kristian. Lama pengaruhnya kian mendalam di negeri itu, sehingga akhirnya Raja Jacob Manuel Manoppo dengan tidak ragu-ragu lagi menyatakan dirinya seorang Raja Islam. Dan setelah itu, mengikut pula kerajaan tetangganya, Raja Bolang Oki. Dan sampai sekarang tetaplah kedua kerajaan itu kerajaan Islam. 
 Gambar gereja yang terdapat di salah satu kawasan di negeri Terengganu, Malaysia menggambarkan kesan perhubungan antara golongan penganut Kristian dan penganut Islam di kawasan wilayah Kepulauan AsiaTenggara ini.  
 
            Kadang-kadang orang Islam pula yang terdesak oleh Kristian, sebagai di pulau-pulau di hadapan Minahasa, Sangir dan Talaud.
            Dua suku bangsa adalah menjadi pelopor yang kuat dalam penyebaran islam. Pertama orang Minangkabau dengan kelancaran lidahnya. Mereka mengembara ke Ambon, ke Bugis dan Makassar, ke Brunei dan Sarawak, sampai ke Mindanao, sampai juga mendirikan negeri bercorak Minang di Semenanjung Tanah Melayu (Negeri Sembilan). Kedua ialah suku bangsa Bugis, pengembara, pengharung lautan dan gagah berani. Di mana mereka melabuhkan perahunya di sana mereka mendirikan kampung, lama-lama menjadi negeri, lama-lama mereka menjadi Raja atau Sultan di tempat itu, mengembangkan Islam.
            Datangnya penjajahan Barat tidaklah dapat menghalang perkembangan Islam itu. Bahkan itu pulalah yang menjadi salah satu perangsang untuk dia berjuang lebih giat. Karena penjajahan senantiasa diperlengkapi dengan zending dan missi Kristian, yang telah menjadi tentangan hebat bagi Islam, untuk menentukan hidup atau mati. Akan digantikanlah tempatnya oleh agama yang terletak dalam sampul penjajahan itu, atau dia akan tetap menguasai alam fikiran umat.
            Seketika penjajahan telah datang, maka penyelidikan kepada perjalanan sejarah menunjukkan bahwa perkembangan Islam itu berjalan dengan tenang. Cuma agama Kristianlah sebagai yang dipaksakan oleh Portugis dan Sepanyol. Di pulau-pulau Sulu dan Mindanao terasa benar betapa hebatnya peperangan atau jawaban pihak Islam yang sedang tumbuh dengan Kristian Katholik yang dipaksakan oleh Sepanyol.
            Kadang-kadang terjadilah perlumbaan hebat di antara Islam dengan Krisitan memperebutkan daerah yang masih kosong dari kedua agama itu, sebagaimana terdapat di daerah Tapanuli. Dari sebelah utara kaum Muslimin Aceh menyerbu dengan keteguhan hatinya, sehingga dapatlah daerah Gayo dan Dairi beransur, tetapi terus memeluk Islam. Dan dari sebelah selatan iaitu daerah Minangkabau , maju pula kaum Paderi membawa tauhid ke daerah Mandahiling. Di tengah-tengah iaitu daerah Batak masuklah Rhynsche Zending dari Jerman. Maka terpulaulah daerah Tapanuli Utara yang beragama Kristian di antara Aceh dengan Minangkabau. Paling akhir ini, selepas tahun 1945, orang Batak Toba pula yang menyerbu mengadakan perpindahan besar ke daerah Islam, sehingga di bahagian Rao telah terdiri beberapa gereja.
            Sampai sekarang masih ada lagi daerah yang menjadi perebutan itu. Sebagai daerah Dayak di Kalimantan, daerah Toraja di Hulu Bugis, daerah Pagai dan Nias di pulau-pulau di hadapan Sumatera Barat.
            Oleh sebab itu dapat agaknya dikatakan bahwasanya penyebaran Islam di pulau-pulau dan negeri-negeri Melayu ini lain daripada yang lain. Dia selalu berkembang dan selalu berjuang, bukan dengan kekerasan senjata, tetapi karena perkembangan cita, dijalankan dengan dakwah yang bersungguh-sungguh ataupun bermalas-malas. Sehingga amat bergantunglah kemajuan Islam itu kepada keteguhan peribadi dan iman dari mereka yang menyebarkan. Zending yang tertentu, sebagaimana yang diatur oleh pemeluk agama Kristian Protestan dan Katholik belumlah ada. Sebahagian besar penyebaran agama Islam dijalankan dengan sukarela.      

Pembahagian Zaman
            Setelah diselidiki pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di negeri-negeri Melayu itu dari abad kea bad sejak abadnya yang pertama, iaitu pertengahan abad ketujuh Masihi, abad Pertama Hijriyah, sampai kepada abad kedua puluh, atau abad keempat belas Hijriyah, kita cubalah menyusunnya, dan mungkin agaknya susunan itu mendekati kebenaran.
ZAMAN PERTAMA
(ABADKETUJUH, KEDELAPAN, KESEMBILAN)
            Saudagar-saudagar dan pernah juga utusan dari umat Islam, yang berintikan bangsa Arab telah datang bonding demi bonding ke negeri-negeri Melayu. Ada yang singgah saja da nada yang menetap, sehingga mereka tidak terganggu mengerjakan agama mereka.
ZAMAN KEDUA
(ABAD KESEPULUH, KESEBELAS, KEDUA BELAS)
            Sudah mulai ada golongan-golongan kecil umat Islam di negeri-negeri Melayu. Hidup dengan bebas melakukan amal agamanya. Meskipun mereka ituada orang Arab da nada orang Parsi, atau yang lain, namun mereka tergabung dalam satu kata Islam, iaitu ‘Umat’, Mereka hidup berbaik-baik dalam Kerajaan Hindu Langkasuka, Sriwijaya, Janggala, Daha, dan Singhasari. Dan kadang-kadang sudah mulai mereka mendekati pihak kekuasaan (menjadi anggota perutusan Kerajaan Brunei ke Tiongkok tahun 977M.).
            Dengan amat perlahan orang-orang Islam dari luar negeri itu menjadi penduduk negeri yang didiaminya, karena perkawinan mereka dengan perempuan anak negeri. Anak yang mereka turunkan dengan sendirinya menjadi umat Islam. Dan budak-budak yang dibeli oleh umat Islam tadi, kebanyakan dengan sukarela memeluk agama tuannya, karena nasibnya lebih baik dalam perlindungan tuannya itu. Bahkan dipercayai sebagaimana mempercayai anaknya sendiri.
ZAMAN KETIGA
            Kerajaan Hindu dan Budha mulailah menurun mundur, Sriwijaya kian lemah sesudah perang dengan Madangkamulan dan Cholamandala. Sedang Islam telah naik kembali karena pusat kegiatan  Islam berpindah dari Baghdad ke Mesir (di zaman Raja-raja Mamalik). Keadaan yang demikian menimbulkan semangat baru dalam kalangan umat Islam.
            Mulailah berdiri Kerajaan Islam mulanya di Daya (?) Aceh, kemudian menyusul Samudera-Pasai. Oleh sebab Kerajaan Mamalik Mesir itu melindungi juga Makkah dan Madinah (memakai gelar Khadimun Haramain), maka Syarif Makkah turut memberikan bantuan atas berdirinya Kerajaan Samudera di samping itu dibantu pula oleh keturunan-keturunan Arab dari Malabar.
            Kerajaan Pasai berkembang sampai akhir abad keempat belas.
            Di pertengahan abad keempat belas itu berdiri Kerajaan Melaka, menyambung kebesaran Pasai. Sedang Majapahit sebagai pusat kemegahan Hindu-Budha (Syiwa-Budha) karena kematian Patih Gajah Mada dan Seri Maharaja Hayam Wuruk, mulai mundur.
            Perkembangan Pasai amat besar artinya menimbulkan kekuatan seemangat dari seluruh umat Islam yang hidup terpancar-pancar di negeri-negeri Melayu, terutama di utara Tanah Jawa.
            Berdirinya Kerajaan Melaka di akhir abad keempat belas, sangat besar artinya bagi perkembangan pengaruh Islam di seluruh negeri-negeri Melayu, terutama karena Raja-rajanya mengatur Politik Luar Negeri dengan bijaksana sehingga mendapat pengakuan dari Tiongkok. Islam telah berkembang sampai ke Maluku dan Kalimantan.
            Dan Melaka jatuh di awal Abad Keenam Belas.     
ZAMAN KEEMPAT
(ABAD KEENAM BELAS)
            Jatuhnya Kerajaan Melaka karena datangnya penjajahan Barat (Portugis). Tetapi oleh karena umat Islam telah tersebar dan telah mulai berpengaruh dalam masyarakat, maka segeralah berdiri Kerajaan Islam di Aceh Pidir, Demak dan Bantam, dan sambungan Melaka iaitu Johor.
            Dikenallah nama-nama Sultan Ali Al-Moghayat Syah Aceh, Raden Fattah dan Wali Songo di Jawa. Dan Fatahillah, disebut juga Syarif Hidayatullah dan sebutan lain, pembangun Kerajaan Bantam dan Cirebon dan puteranya Sultan Hasanuddin.
            Sultan Khairun dan puteranya Sultan Babullah di Ternate.
ZAMAN KELIMA
(ABAD KETUJUH BELAS)
            Sesudah bertarung dengan Portugis dan Sepanyol, Islam mulai bertarung dengan penjajahan Barat gelombang kedua, iaitu Belanda dan Inggeris. Timbullah Sultan-sultan Islam yang besar dan perkasa dan pahlawan-pahlawan yang agung; Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, Sultan Agung Hanyokrokusumo di Mataram (Jawa Tengah), Sultan Agung Cirtayasa di Bantam, Trunojoyo di Madura, Karaeng Galesong dari Makassar, Sultan Hasanuddin Makasssar, Untung Surapati di Jawa, dan Raja Iskandar dari Minangkabau.
            Timbul ulama besar Syeikh Nuruddin Raniri Aceh, Abdur Rauf Singkel, Hamzah Fansuri, dan Syeikh Yusof Tajul Khalwati Makassar dan Bantam. Timbul pujangga Melayu yang terkenal dalam persuratan dengan nama kecilnya ‘Tun Seri Lanang’ dan gelar jabatannya sebagai Bendahara negeri Johor, Bendahara Paduka Raja.




ZAMAN KEENAM
(ABADKEDELAPAN BELAS DAN KESEMBILAN BELAS)
            Perjuangan lebih hebat dalam merebut hidup di tanah air sendiri, dengan penjajahan Belanda dan Inggeris. Islam bertambah menunjukkan coraknya karena hubungan dengan Makkah bertambah lancar. Orang Arab Hadramaut mulai lebih mudah dan berbondong datang ke negeri-negeri Melayu. Kekuasaan Kerajaan-kerajaan Islam mulai menurun, kaum ulama tetap mempelopori kebesaran Islam.
            Di dalam abad kedelapan belas dan kesembilan belas timbullah pahlawan-pahlawan Islam baik dari kalangan bangsawan atau dari kalangan ulama.
            Kadang-kadang mereka berjuang mempertahankan kemerdekaan yang masih ada, arena dengan demikian pulalah agama Islam akan tetap merdeka. Ketika itulah timbul Raja Haji keturunan Raja-raja Bugis, menjadi Yamtuan Muda (Bendahara) Johor dan Riau, dan tewas karena berperang dengan Belanda di Melaka, sehingga layaklah nama pahlawan ini diperingati di Indonesia sekarang, karena dia berasal dari Bugis dan Riau, dan layak pula diperingati di Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu, karena dia menjadi Bendahara Johor dan tewas karena berperang dengan Belanda di Melaka.
            Terkenal pula pahlawan Abdul Sa’id gelar Dato’Seri Maharaja Merah, Dato’ dalam negeri Naning (Melaka), dan berasal dari Minangkabau.
Terkenal nama-nama Tuanku Imam Bonjol dan ‘Harimau nan Delapan’ (Kaum Paderi) di Minangkabau, Pangeran Diponegoro di Jawa, Tengku Chik di Tiro, Teuku Omar Johan Pahlawan dan panglima Polim di Aceh, Pangeran Antasari di Kalimantan, Raden Intan di Lampung, Sultan Daud Badaruddin di Palembang, Orang Kaya kenamaan dan Dato’ Gajah di Pahang, Kiyahi Haji Wasith di Bantam.
            Waktu itu pula timbul ulama-ulama; Syeikh Arsyad di Banjarmasin, Syeikh Nawawi di Bantam, Syeikh Abdus Samad di Palembang, Sayid Usman bin Yahya di Jakarta, Syeikh Ahmad Khatib di Minangkabau dan lain-lain. Syeikh-syeikh itu mengisi jiwa umat Islam dengan ilmu pengetahuan yang luas dalam hal fiqih, tasawuf dan tauhid.
ZAMAN KETUJUH
(DARI PANGKAL SAMPAI PERTENGAHAN ABAD KEDUA PULUH)
            Negeri-negeri Melayu mulai merasakan kebangkitan yang baru dari Islam, karena masuk faham-faham yang diajarkan oleh kaum Wahabi dan dipermoden lagi oleh Sayid Jamaluddin  Al-Afghany, Syeikh Muhammad Abduh dan Syiekh Taher Jalaluddin, Sayid Syeikh Taher Jalaluddin, Sayid Syeikh Al-Hadi, Syeikh Muhammad Al-Kalili, Sayid Abdullah bin ‘Aqil, dan ZA’BA. Terbit Majalla Islam yang membawa perbaharuan faham Islam yang mula-mula bernama ‘Al-Imam’ (1906-1909), dan di Sumatera Barat (Minagkabau) timbul gerakan Kaum Muda dengan Majalla ‘Al-Munir’ (1911) maka muncullah murid-murid Syeikh Ahmad Khatib yang baru pulang dari Makkah, tiga orang di antaranya yang sangat terkenal; Haji Abdullah Ahmad Padang, Haji Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukit Tinggi. Di Jawa timbullah kebangkitan kesedaran politik yang dipelopori oleh Islam, dipimpin oleh Haji Samanhudi, H. O. S. Chokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Dan timbul kebangkitan perbaharuan faham agama yang dipelopori oleh Kiyahi Haji Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah dan Syeikh Ahmad Soorkati dengan mendirikan perkumpulan ‘Ar-Irsyad’.
            Dan di Semenanjung Tanah Melayu tercapai pula kemerdekaan dari penjajahan Inggeris pada 31 Ogos 1957, dengan menjadikan agama Islam sebagai agama rasmi Kerajaan PersekutuanTanah Melayu.
            Dan umat Islam di kepulauan Sulu dan Mindanao (Filipina) terlingkung pula dalam kemerdekaan negeri Filipina.  
         

           
Nota: Gambar-gambar yang terdapat di dalam artikel sekadar hiasan bagi menarik minat pembaca.