BAHAGIAN KETUJUH
PERKEMBANGAN
AGAMA ISLAM DI NUSANTARA
FASAL 1: BANGSA INDONESIA PURBAKALA DAN
KEPERCAYAANNYA
Sebelum
Sejarah
Di sekitar tahun 1939-1941 ahli-ahli penyelidik telah
menemui di Mojokerto sebuah fosil termasuk rahang dan beberapa buah gigi dan
tulang paha manusia, yang menurut teori penyelidikan itu adalah termasuk
manusia purbakala yang hidup di tanah Jawa pada masa kira-kira 500,000 tahun
sebelum tarikh Nabi Isa. Dalam ilmu purbakala, zaman itu dinamai zaman Quartair
(zaman keempat). Pada masa itu manusia belumlah sempurna kemanusiaannya, masih
dekat lagi dengan kehidupan binatang, belumlah mengenal apa yang dinamakan
kebudayaan. Fosil (tengkorak yang telah membatu) itu pernah pula didapati orang
dekat Solo (di desa Trini).
Kalau penyelidikan ini kita sangkut-pautkan dengan
dongeng orang tua-tua, teringatlah kita kepada kepercayaan mereka bahawa di
zaman purbakala ada hidup raksasa yang besar-besar yang hidupnya pun berbeda
dengan hidup manusia. Dan menguntungkan juga bagi kita sebab ilmu penyelidikan
atas pertumbuhan hidup manusia itu sudah terpisah jauh daripada ilmu sejarah
dan telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, dinamai antropologi. Ahlinya pun
telah menetapkan bahawa pada zaman itu belumlah ada kebudayaan dan peradaban
yang akan disejarahkan.
Nenek-moyang
bangsa Indonesia
Menurut
penyelidikan ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi), adapun bangsa yang pada masa
sekarang ini yang kita namai bangsa Indonesia, termasuk dalam rumpun bangsa
Austronesia. Asal usul keturunannya ialah dari daerah yang dinamai oleh penulis
sejarah Eropah, Hindia Belakang, sebagai timbalan dari Hindia ‘Muka’, iaitu
India sekarang ini. Yang mereka namai Hindia Belakang itu ialah daerah yang
melingkungi Thailand (Siam), Burma, Kemboja dan Laos (Indo China) sekarang ini,
termasuk daerah Khmer di Uluan, dan di hulunya lagi ialah Tonki. Mereka
berpindah berboyong sekelompok, mengalir ke bawah melalui Siam, Semenanjung
Tanah Melayu, Pulau Sumatera, Jawa dan pulau-pulau besar itu yang dinamai
‘Nusantara’ (Nusa-pulau) dan (Tara-antara) terletak di antara dua benua, iaitu
Australia dan Asia, atau menurut cara berfikir di zaman itu, terletak di antara
Benua China dan Benua India.
Perpindahan itu tidaklah berhenti sehingga itu saja,
bahkan mereka teruskan sampai ke pulau-pulau Luzon dan Mindanao yang baru sejak
abad keenam belas dinamai Filipina; bahkan ke pulau Hawai di Lautan Teduh dan ada
yang menuju ke Barat sampai ke Madagaskar, yang sekarang bernama bangsa
Malagasi.
Menurut penyelididkan itu, perpindahan itu terjadi 2000
tahun sebelum lahir Nabi Isa a.s., dan ada yang menaksir lebih.
Maka hiduplah mereka di tempat kediaman yang baru itu,
Mana yang telah serasi hidupnya dengan tanah tempatnya singgah, mukimlah dia di
sana dan yang lain meneruskan perjalanan juga, sampai mendapat tanah yang
serasi pula. Kehidupan mereka ialah berburu dan bercucuk tanam, dan menombak
ikan. Oleh sebab itu pada mulanya kehidupan mereka lebih mendekati air daripada
menetapi tanah. Supaya mudah bagi mereka berpindah pula dengan perahunya apabila
merasa hidup tidak terjamin lagi di tempat yng telah dipilih itu. Dari dalam
perahu beransurlah mereka pindah membuat rumah ke atas tanah. Rumah itu
ditinggikan tonggaknya supaya terpelihara seketika pasang naik dan pasang turun
atau supaya tidak diganggu oleh binatang buas. Dan dari pinggir laut yang kurangnya
ombaknya, mereka mulai memudiki sungai-sungai. Sebab kebetulan di kediaman yang
baru itu terdapat sungai-sungai yang jauh hulunya sampai hutan belukar, sebagai
Irawady di Burma, Musi dan Batanghari di Sumatera, Citarum dan lain-lainnya di
Jawa, Kapuas di Kalimantan dan lain-lain. Di tepi-tepi sungai itulah dengan
beransur-ansur mereka mendapat ilham buat melanjutkan hidup melawan kesulitan
dan kesukaran alam. Sehingga pandailah mereka membuat rumah alat perkakas,
pemburu ikan (tombak, kail), dan penebas hutan (kapak pepatil), dan sampai
pandailah mereka akhirnya membuat sawah dan menggalikan anak bandar dari sungai
ke sawah itu.
Bentuk
Badan
Wajah mereka umumnya berwarna sawo matang dan setengahnya
wajah mereka hitam manis, rambutnya hitam lurus dan tidak keriting, tingginya
rata-rata 6.25 kaki.
Terasa benar persamaan muka dan bentuk ini dan persamaan
laku hidup setiap hari sampai zaman sekarang. Kerapkali apabila orang-orang
yang datang dari Filipina, Siam, Burma, Malaya dan Indonesia bertemu di luar
negeri, seumpama di Eropah atau Amerika dalam perjalanan musafir, sebelum
bertegur sapa, masing-masing menyangka bahawa ‘kawan’ yang duduk di hadapannya
itu adalah orang senegerinya. Setelah bertegur sapa baru diketahui bahwa
tidaklah senegeri, sebab berlainan bahasa, sehingga yang menghubungkan mereka
ialah bahasa asing seumpama bahasa Inggeris. Perlainan iklim dan perpisahan
yang telah lama sangat masanya, menyebabkan perbedaan bahasa. Demikian juga
setelah mereka memilih agama masing-masing sejak dari Hindu dan Budha dan Islam
dan kemudiannya agama Nasrani, timbullah bilik-bilik yang memisahkan jiwa.
Bahkan di kepulauan Indonesia sendiri, yang sekarang telah menjadi sebuah
negara, terdapatlah berpuluh-puluh suku bangsa yang berlain-lain bahasanya.
Tetapi ahli ilmu bangsa-bangsa dari segi bahasa senantiasa masih melihat
beberapa kata-kata yang memperlihatkan kesatuan asal mereka. Seumpama kata-kata
padi, besi, babi, rumah, dada, buaya,; ada pada setiap suku bangsa itu dengan
sedikit-sedikit, demikian juga manuk (ayam) yang ada di Tapanuli, Minangkabau,
Jawa dan Tagalog, Banjar dan Toraja!
Orang Hindu purbakala menamai saja kelompak bangsa ini
‘Jawadwipa’ dan setelah bangsa-bangsa ini memeluk agama Islam dan banyak
mengerjakan rukun haji ke Makkah dan mengembara sampai ke Mesir, Palestin dan
Turki pun semuanya dinamai saja orang Jawa. Sehingga di Masjid Al-Azhar yang
tua dan masyhur itu ada sebuah Rouaq (asrama) bernama Rouaq Jawa, yang pada
masa dahulu didiami oleh mahasiswa yang datang dari Indonesia, Siam, Malaya,
dan Filipina. Di masjid Khalil (makam Nabi Ibrahim) di Palestin, terdapat pula
satu ruang dalam masjid, tempat di zaman dahulu seorang ‘Jawa’ yang tidak
dikenal dan tidak diingat lagi siapa namanya oleh penduduk di sana duduk
bertekun beribadah. Dan diceritakan turun-temurun oleh orang tua-tua di sana.
Seluruh bangsa itu pun dinamai bangsa Melayu. Pulau-pulau
itu pun dinamai ‘Gugusan pulau-pulau Melayu’, sehingga Carlos Romulo ahli politik
Filipina itu menyatakan cita-cita akan membentuk kelak satu Kesatuan Melayu
Raya, yang meliputi Malaya, Indonesia, dan Filipina.
Melihat jalan sejarah pertalian darah raja-rajanya sejak
Sriwijaya, Kalingga, Kediri, Singhasari, danMajapahit (sebelum Islam), dan
Melaka, Demak, Bantam, Acheh, dan lain-lain (sesudah Islam), patutlah diakui
kesatuan bangsa-bangsa ini.
Dan setelah terjadi perubahan-perubahan dalam ribuan
tahun baik karena pemilihan agama di zaman dahulu, atau karena penjajahan
bangsa-bangsa Barat terpecahlah bangsa-bangsa yang seasal itu menjadi beberapa
bangsa: Burma-Siam (beragama Budha), Melayu-Indonesia (Islam) dan Filipina
(Kristian).
Kepercayaan
Di zaman
purbakala sebagaimana bangsa-bangsa purbakala yang lain, mereka belumlah menganut
suatu agama yang tertentu, tetapi di dalam jiwa mereka telah ada persediaan
buat menerima agama. Di dalam jiwa mereka sudah mulai tumbuh kepercayaan. Ada
dua hal yang menyebabkan tumbuhnya kepercayaan itu. Pertama alam sekeliling,
kedua soal hidup dan mati!
Manusia itu hidup di antara alam. Air yang mengalir dari
hulu ke hilir membawa banjir dan banjir meninggalkan bunga tanah dan bunga
tanah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Di antaranya mereka mendapat padi. Hujan
yang turun dari langit pun menambah suburnya padi itu. Bintang-bintang di
langit yang bergiliran kelihatan di antara 12 bulan dalam setahun pun
menentukan pembahagian musim hujan dan muim kemarau. Semuanya itu berpengaruh
kepada mereka di dalam hidupnya, sehingga mereka percaya bahawa ada hubungan
mereka dengan seluruhnya itu. Niscaya semuanya itu ada angkernya dan ada
tuahnya. Oleh sebab itu pula dapatlah dilihat bekas kepercayaan kepada tuah,
angker dan semangat itu pada pemujaan kepada padi. Dia dinamai Dewi Sri atau
Sang Hyang Sri. Subur atau layunya padi itu rupanya sangatlah bergantung kepada
musim terutama kepada matahari, yang terbitnya menimbulkan siang dan
terbenamnya menimbulkan malam. Di waktu siang terbukalah jalan berusaha mencari
makan dan di waktu malam timbullah rasa takut. Sebab di waktu gelap itulah
binatang buas atau serangga yang lain kerapkali mendekati manusia yang sedang
tidur. Maka timbullah kepercayaan bahwa di samping padi atau Dewi Sri, matahari
pun ada hubungannya dengan keselamatan manusia.
Kepercayaan zaman purba penduduk asal di wilayah Kepulauan Melayu ini sangat berkait rapat dengan semangat padi, sawah, hujan, banjir, matahari dan alam sekeliling namun ianya semakin berubah selepas kedatangan Islam dan kepercayaan Islam serta amalannya mula semakin serasi dengan kehidupan masyarakat setempat selepas semakin banyak masjid-masjid dibina di kawasan perkampungan (Gambar hiasan).
Sudah patut datang musim hujan, tetapi hujan belum juga
datang. Menengadah ke langit, kepada Sang Matahari, Sang Suria, memohon
menyelesaikan musim itu, sebab dia nampaknnya yang maha kuasa dari segalanya.
Sehingga di Sumatera Tengah ada sungai bernama Batang Hari, dan Hari itu pun
nama tuhan. Demikian sehingga jelas sekali pertumbuhan kepercayaan itu kepada
segenap yang ada, sejak daripada sungai yang mengalir, air bah sekali setahun
sampai kepada padi, bakal untuk hidup, sampai kepada matahari, sampai kepada
tempat yang seram, lebih seram di waktu malam, sebagai pohon beringin, dan
sampai pula kepada gunung-gunung yang tinggi menjulang langit dan indah lagi
seram itu.
Bapa, ataupun nenek, ataupun kepala keluarga yang lebih
tua, itulah yang lebih banyak mengerti soal-soal itu. Dia menerima perkabaran
tentang itu daripada ayahnya daripada neneknya dan orang yang tertua pula.
Segala yang ditanyakan dapatlah dia menjawab. Maka timbullah pula kepercayaan
bahwasanya beliau lebih tahu. Dan itupun menimbulkan hormat! Tiba-tiba pada
suatu ketika ayah atau nenek atau orang yang tertua itu pun meninggal. Tadi
masih bergerak, sekarang badannya masih ada tetapi tak hidup lagi. Apa arti
hidup? Apa arti mati? Adakah kekuatan di luar tubuh? Akan diperbuat apa dengan
tubuh yang telah mati? Maka pada zaman itu kerapkalilah tubuh yang telah mati
itu tidak dikuburkan, melainkan disimpan di tempat yang istimewa di tengah
keluarga, atau dihantarkan ke puncak bukit (Toraja). Sebab pengaruhnya masih
terasa, dia seakan-akan masih hidup di kalangan anak cucu. Kadang-kadang
terbayang di dalam mimpi. Entah mana yang lebih besar pengaruh atas jiwa
mereka, entah takut entah cinta! Takut akan gangguannya, atau cinta karena
jasanya! Inilah asal pemujaan. Maka adalah di antara keluarga yang tinggal itu
yang mengakui mendapat kesempatan berjumpa dengan beliau yang telah mati, di
dalam mimpi. Dia memberikan nasihat, fatwa dan lain-lain, dan dia minta supaya
dipuja. Kadang-kadang benar pengakuannya itu dan ada pula yang
dilebih-lebihkannya, supaya dia dipandang lebih bertuah, lebih mulia dari yang
lain; supaya lebih dapat menguasai mereka semuanya, dan memang mereka pun
memerlukan supaya tetap ada yang lebih berkuasa itu. Di sinilah timbulnya dukun
dan datu. Panggilan datu didapatnya setelah dia lebih berkuasa.
Maka baik mengatur hubungan dengan alam sekeliling,
gunung-gunung, laut dan darat, beringin atau padi, terutama lagi hubungan
dengan nenek yang telah mati, atau hendak mempertalikan hidup seorang laki-laki
dengan seorang perempuan, tergenggamlah di tangan dukun atau datu tadi.
Kadang-kadang setelah seorang nenek mati, beberapa hari kemudian kedengaranlah
suara harimau di dekat rumah itu tengah malam. Maka timbullah kepercayaan bahwa
nenek itu telah ‘jadi-jadian’. Maka di beberapa tempat di Indonesia masih ada sisa
kepercayaan kepada harimau jadi-jadian atau babi, buaya atau ikan. Hubungan
dengan segala jadi-jadian itu pun terpengaruh dengan dukun atau datu.
Oleh sebab itu beberapa orang ahli tidaklah menyukai
mengatur mana yang terlebih dahulu tumbuhnya dinamisme (segala sesuatu ada
semangatnya), atau animism (percaya akan arwah nenek moyang), atau totemisme (
percaya akan hubungan di antara manusia dengan nenek moyang binatang).
Kesukaan orang berubat kepada doktor yang berpengetahuan
di Indonesia, belumlah mencapai satu abad, walaupun di negeri yang telah Islam.
Kedudukan mpu, dukun atau datu sebelum percaya kepada doktor, tidaklah
diselangi oleh yang lain.
Mantera-mantera atau jampi yang diucapkan oleh dukun di
zaman dahulu ialah memanggil roh nenek moyang. Roh nenek moyang itu Hyang
namanya. Tinggal dalam bahasa sehari-hari menjadi poyang atau moyang. Dia ada
di puncak gunung yang tinggi. Hyang Tunggal pada nama gunung Dieng. (Adi
Hiyang) . Gunung Sangiang (Sang Hyang) di Nusatenggara dan Parahiyangan di Sunda
dan Perangan Padang Panjang di Minangkabau. Sudahkah ada kemajuan perasaan yang
membawa kepercayaan itu kepada puncak dari segala kepercayaan itu? Sudahkah ada
kepercayaan bahwa di atas dari segala semangat yang ada di gunung, di beringin,
di harimau, , di air mengalir dan di nyawa nenek moyang itu satu kekuasaan yang mutlak? Iaitu keesaan
Tuhan? Yang Maha Tinggi, Maha Agung?
Hal ini belum mendapat selidikan saksama. Memang ada
kata-kata Sang Hyang Tunggal. Dan Tunggal artinya Esa! Dan pula ada Dewata
Mulia Raya. Dan ada pula Dewata Mulia, di atas dari Dewata! Bilakah timbulnya
kedua kata ini? Apakah Sang Hyang Tunggal timbul setelah memeluk agama Islam,
dan Dewata Mulia Raya timbul sebelum
itu, iaitu ketika masih memeluk agama Hindu? Wallahu-‘a’lam! Tetapi jalan
fikiran ke sana sudah nampak dengan
dukun dan datu. Lama-lama dukun dan datu itu dipandang sebagai wakil Hyang di
dunia ini. Dan setelah kemudian jabatan datu itu sudah lebih tinggi karena dia
pun menjadi raja, maka raja itu pun dipandang sebagai turun dari kayangan!
Kayangan itu lama-lama sudah berkembang artinya menjadi langit! Demikianlah
pertumbuhan dan perkembangan kepercayaan asli bangsa Indonesia dan bangsa
serumpun yang ada di sekelilingnya. Dasar kepercayaan kepada ghaib telah bertumbuh
dan berkembang, bersamaan dengan bertumbuh dan berkembang akalnya, yang
meliputi rasa, periksa dan karsanya. Sehingga setelah agama datang, bukanlah
agama menanamkan sesuatu yang baru, tetapi menyelesaikan kekusutan kepercayaan
itu dan menyalurkan yang sewajarnya.
Setelah agama Hindu datang, dimulainyalah menghimpun atau
memperkecil jumlah kekuasaan yang dipercayai itu kepada tiga saja; Krisna,
Visynu, dan Syiva, iaitu yang mencipta, yang memelihara, dan yang merusak.
Dibantu oleh berbagai macam dewa. Dan setelah agama Budha datang diberinyalah
ajaran memperbaiki budi dan pekerti, iaitu rohani dan jasmani. Dan setelah
agama Islam datang bertambah jelaslah bahwa puncak kekuasaan itu hanya satu;
Esa, tak berbilang, Allah Tuhan Yang Maha Esa, berkuasa sendiriNya. Dia pun
mempunyai malaikat, yang mengatur turunnya hujan dan panas, menentukan rezeki segala
makhluk (Mikail), yang mencabut nyawa makhluk (Izrail), tetapi Islam
mengajarkan bahwa malaikat-malaikat itu dan beribu lagi malaikat yang lain,
tidak bergerak dan tidak bertindak sendiri, kalau tidak dengan perintah Tuhan
Allah Yang Maha Esa. Dengan demikian maka kepercayaan kepada kekuasaan
dewa-dewa diselesaikan pula.
Sekarang sudah berlalu 3,000 tahun sejak bangsa-bangsa
berpindah dari tanah asalnya itu; dan telah bergelar agama yang datang, dan
telah masuk ke dalamnya agama Islam dan dianut oleh sebahagian yang terbesar
(72 juta di Indonesia; 3 juta di Semenanjung Tanah Melayu; 2 juta di Burma; 2.5
juta di Siam; 2 juta di Filipina), namun sisa pusaka nenek moyang mereka itu
masih tinggal juga sisanya, banyak atau sedikit dalam jiwa atau kebiasaan
mereka. Baik karena kepercayaan yang kusut belum diselesaikan, atau karena ada
pula beberapa hal, yang penyair-penyair Islam merasa tidak perlu dihapusmusnahkan,
karena tidak mengenai dasar. Misalnya perkara bahasa. Banyak kalimat-kalimat
dari bahasa lama yang dibiarkan saja, bahkan dipakai dalam istilah-istilah
Islam.
Bahasa
Lama Dan Agama
Di dalam batu bersurat Terengganu, (sekarang tersimpan di
muzium Kuala Lumpur) yang ditaksir orang ditulis pada permulaan abad keempat
belas, dengan huruf Arab, nama Allah Subhanahu Wata’ala masih disebut Dewata
Mulia Raya.
Kini batu bersurat
tersebut disimpan di Muzium Negeri Terengganu, di Tanah Melayu yang kini adalah
Malaysia.
Syiling emas yang tertera nama Sultan Zainal Abidin Shah II (1793-1805M) dalam huruf tulisan Jawi.
Gambar diambil dari
sumber rujukan buku Ensiklopedia bertajuk Barangan Kemas Tradisional Melayu di Perpustakaan
Marang, Terengganu, Malaysia.
Tuhan adalah kata yang telah didapat oleh Islam dan terus
dipakai. Padahal arti asli kalimat Tuhan itu sama saja dengan dewa Syurga untuk
ganti dari kata jannat. Malahan kata ‘jannat’ itu boleh diartikan kebun, dan
syurga tetap untuk nikmat hidup sesudah mati. Oleh ulama-ulama Islam Indonesia
ditulis dengan huruf Arab; syurga, neraka untuk ganti kata An-Nar. Padahal
‘An-Nar’ boleh diartikan api saja. Pahala untuk arti ‘arjun’ itu boleh
diartikan upah saja. Dosa, siksa, durhaka, puasa dan lain-lain. Kebanyakan
kata-kata ini berasal dari bahasa Sanskerta dipakai setelah agama Hindu tersiar
di Indonesia lalu disambut dan dipakai oleh Islam, dan telah menjadi bahasa
Melayu, selanjutnya menjadi Bahasa Indonesia.
Sisanya
Belum Habis
Dari segi berfikir agama, kita merasa keciwa, tetapi dari
segi penyelidikan sejarah, kita merasa senang juga, sebab sisa-sisa bekas dari
bangsa peradaban purbakala itu masih ada. Di Semenanjung Tanah Melayu masih ada
orang Jakun dan Sakai. Di pantai timur Sumatera masih terdapat orang Laut dan
orang Sasak. Di Pedalaman Jambi masih terdapat orang Kubu, orang Talang Mamak
dan di Pulau Mentawai di hadapan Barat pulau Sumatera masih terdapat orang
Mentewai. Ada juga yang telah lebih maju, karena ditukar oleh pihak zending dan
missi Kristian, sebagai di Toraja atau Sulawesi dan Dayak (Kalimantan). Adanya
sisa-sisa yang ketinggalan itu lebih memudahkan juga untuk melanjutkan
penyelidikan atas keadaan hidup nenek moyang zaman purbakala tadi.
FASAL II: PENGARUH
HINDU DAN BUDHA
Sebagai juga pengetahuan tentang Mesir Purbakala dan
kebudayaan kuno Mahenjo Daro di India, penyelidikan orang pun tidak
henti-hentinya atas kebudayaan Indonesia di zaman lampau. Batu-batu bersurat
dan candi-candi tidak henti-hentinya diselidiki. Maka meskipun kebudayaan
bangsa Indonesia baru mulai tumbuh sesudah tahun Masehi, namun oleh karena luas
daerah kebudayaan bangsa Indonesia Nusantara itu, meliputi sejak dari India
Belakang (Indo-China, Burma, Siam) dan terus ke pulau-pulau Filipina, tidak
mengherankan jika ilmu purbakala Indonesia itu menarik hati sekali. Terutama nampak
pusat kebudayaan itu di Sumatera dan Jawa.
Nyatalah bahwasanya seketika mulai lahirnya agama Islam
di Tanah Arab di dalam abad ketujuh, agama Budha Mahayana sedang berkembang
pula di Nusantara, di bawah pimpinan Sriwijaya dan berpusat di Palembang.
Kerajaan Sriwijaya itu pernah berkuasa sampai ke Siam dan dijumpai orang batu
bersurat di Ligor. Bahkan di dalam salasilah susunan dinasti Siam sampai
sekarang, Sriwijaya itu termasuk pembangunnya yang penting. Dan sampai juga
pengaruhnya ke India Selatan dan ke Langkapuri. (Ceylon), dan menancapkan
kuasanya juga di tanah Jawa. Maharaja Syailendra dari Sriwijaya itulah yang
menitahkan mendirikan candi Borobudur, candi yang diakui keindahan dan
ketinggian arkiteknya oleh para penyelidik, melebihi daripada apa yang ada di
India sendiri.
Menilik daerah-daerah yang dikuasainya, nyatalah bahwa
kerajaan Sriwijaya itu sebuah keajaan maritim, yang berdagang ke India dan ke
Tiongkok, guna memperkuat tali persahabatan dengan Maharaja Langit itu.
Tetapi meskipun abad-abad yang keenam dan ketujuh adalah
perkembangan Sriwijaya yang sampai sekarang asyik dipelajari itu, namun pengaruh
Hindu dan bangsa Hindu telah masuk ke Nusantara Indonesia jauh sebelumnya. Maka
tidaklah atau belumlah diketahui dengan pasti bila benarkah mulanya masuknya
orang Hindu ke Indonesia. Berita yang tertua dari hal kepulauan Nusantara itu
terdapat dalam buku Yunani Periploustes Erythras Thalasses. Dalam buku itu ada
disebut nama Chryses itu ialah Semenanjung. Disebut juga Chryses Chersonesos.
Disebutnya juga nama-nama negeri-negeri
Barousai yang artinya Barus. Sabadebai yang artinya Jawadwipa, atau
Andalas. Buku Yunani itu bertarikh 70 Masehi. Protolomeus yang hidup pada
sekitar tahun 150 Masehi pun telah lebih menjelaskan lagi hubungan itu,
sehingga lebih nyata.
Kerajaan
Hindu Tua
Setelah diselidiki dengan saksama, ternyatalah bahwa pada
kira-kira tahun 400 Masehi (2 abad sebelum lahir Nabi Muhammad s.a.w) telah ada
sebuah kerajaan Hindu di Kalimantan Timur, iaitu di Kutai. Bertemulah batu
bersurat yang menyatakan bahwa nama Raja Kerajaan Hindu itu Mulawarman, dan
huruf batu itu ialah Pallawa. Dapat pula diketahui bahwa ada hubungan kerajaan
itu dengan India Selatan.
Kemudian dapat pula diselidiki lagi bahwasanya di Jawa
Barat dalam abad kelima (seabad sebelum Nabi Muhammad s.a.w) ada pula sebuah
kerajaan Hindu bernama Taruma Negara. Dan didapat pula nama rajanya, iaitu
Purnawarman. Nama kali Citarum amat mungkin dari Taruma. Seorang pelawat
Tiongkok bernama Fa Hian telah melawati ke Nusantara dalam abad yang kelima itu
dan dicatitnya nama-nama negeri yang dilawatinya sebagai Cho-p’o, yang
diartikan oleh penyelidik dengan Jawa. Disebutnya juga Holotan yang besar
kemungkinan Kelantan. Fa Hian telah melawat ke Andalas, Semenanjung, Kalimantan
dan Jawa. Jika kita ingat bahwasanya kedua benua yang ada di kiri kanan
Nusantara, iaitu Hindustan dan Tiongkok telah lama menjadi negeri yang maju,
dan hubungan di antara kedua benua itu, selain dengan jalan darat melalui
pergunungan Tibet, adalah hubungan laut iaitu Selat Melaka, tidaklah heran jika
telah ada hubungan laut yang ramai melalui Selat Melaka, jauh sebelum lahirnya
Nabi Isa a.s. Dan itu pula sebabnya maka di dalam penyelidikan sejarah,
bahan-bahan dari India dan Tiongkok amat penting dalam penyelidikan sejarah
Indonesia. Orang Tionghoa telah banyak menuliskan pengalaman dan kesan-kesan
perlawatannya dan hasil penyelidikan itu dipergunakan oleh penyelidik zaman
sekarang.
Gambar diambil ketika
lawatan di pameran seramik di Muzium Negeri Terengganu, Malaysia. Gambar-gambar seramik buatan China (Tiongkok) ini banyak ditemui sekitar kawasan persisiran laut Malaysia menunjukkan kesan perhubungan perdagangan yang cukup rapat antara negara Malaysia dengan China pada zaman dahulu.
Sriwijaya
dan Sambojaya
Ahli-ahli sejarah Tiongkok itu menyebut nama Sriwijaya
Sah-Li-Foh, katanya terletak di pinggir sungai yang besar bernama Mosi, iaitu
sungai Musi sekarang, dia berkembang dan bermegah di dalam abad keenam, ketujuh
dan kedelapan.
Di Solok (Sumatera Barat) telah didapati sebuah patung
Budha yang menurut taksiran adalah dari abad keenam. Selain daripada itu
disebut orang juga nama kerajaan San Foh Shi. Menurut penyelidikan itulah
kerajaan Sambojaya, cakal-bakal dari Sriwijaya, berdiri dalam abad ketujuh.
Diselidiki pula, maka besarlah kemungkinan bahwa letak kerajaan itu di Sumatera
Tengah pula, iaitu di Muara Takus, di dekat Sungai Kampar.
Langkasuka
dan Kataha
Di dalam penyelidikan terdapat pula nama-nama kerajaan
Langkasuka yang ditaksir berdiri di Semenanjung dan bertemu nama Kataha yang
ditaksirkan dengan Kedah sekarang.
Pulau Langkawi kini
menjadi kawasan pelancongan utama di negeri Kedah, Malaysia yang dulu dikenali
dengan nama Kataha.
Tempat-Tempat
Kerajaan Lama
Masih menjadi pertikaian di mana tempat-tempat dan
kedudukan kerajaan-kerajaan lama itu, sebelum Kediri. Ada yang mengatakan
Sriwijaya di Muara Takus dan ada mengatakan Sriwijaya di tepi Sungai Musi
pernah dipindahkan ke Muara Takus di tepi sungai Kampar.
Syailendra, Kalinga dan Mataram 1
Syailendra Maharaja Sriwijaya yang besar itu melebarkan
kuasanya ke tanah Jawa dan memperluas pengaruh agama Budha dan di dalam abad
kesembilan didirikanlah candi Borobudur yang terkenal itu. Kerajaan Syailendra
setelah kukuh di Jawa, dikenal pula dengan nama Kalinga. Dan di dalam abad-abad
itulah ramainya pendirian candi-candi.
Kediri
dan Singasari
Kemudiannya berdirilah kerajaan Kediri dengan nama
Rajanya yang terkenal Airlangga, yang berkuasa sampai ke Bali. Kerajaan itu
dibaginya dua untuk kedua orang puteranya, iaitu Kediri dan Janggala. Kemudian
naiklah kerajaan Singasari. Waktu itu pulalah terkenal nama Raja Kartanegara.
Menantu Kartanegara ini Wijaya yang menyeberang ke Sumatera buat mengalahkan
kerajaan Sriwijaya yang paling akhir, dan dialah yang mendirikan Majapahit.
Majapahit
Sesudah di zaman dahulu Sriwijaya mencapai puncak
kemegahannya dengan mengambil dasar agama Budha, maka setelah ganti berganti
kerajaan naik dan kerajaan turun, dengan nama raja-raja yang terlukis dalam
sejarah lama Indonesia itu, sebagai Syailendra, Airlangga, Ken Angrok,
Kartanegara, Wijaya, maka kian lama kian naiklah bintang kerajaan Majapahit
itu.
Menilik kepada sejarah, ada saja hubungan darah di antara
raja-raja kerajaan itu, sejak zaman Sriwijaya sampai kepada zaman Majapahit.
Maka jika di zaman Sriwijaya agama Budhalah yang dipentingkan, setelah
Majapahit, Hindu dan Budha telah dicuba menyatukannya, menurut alam fikiran
orang Indonesia. Airlangga dipandang sebagai jelmaan daripada Dewa Wisynu yang
patungnya ditemui orang mengendarai garuda, maka oleh Maharaja Singasari
Kartanegara diciptakanlah kesatuan di antara Syiwa dengan Budha dan pada diri
beliaulah menjelmanya Syiwabudha itu.
Majapahit mencapai puncak kemegahannya di zaman
pemerintahan Patih Gajah Mada, yang bertindak sebagai kepala pemerintahan,
Perdana Menteri, Patih, kepala perang dan bebrapa tugas yang lain. Dialah yang
meluaskan kuasa kerajaan ini sampai ke Kalimantan, Nusatenggara, Semenanjung
Tanah Melayu dan pulau Sumatera, Cuma kerajaan yang terdekat daripadanya, iaitu
kerajaan Pejajaran dan Galuh yang tidak dapat ditaklukkannya.
Darmasyraya,
Aditiawarman dan Pangaruyung
Politik Patih Gajah Mada itu dalam memperteguh
pemerintahan Majapahit disokong oleh seorang besarnya yang berdarah Sumatera
iaitu Aditiawarman. Seketika Sriwijaya telah jatuh dan Majapahit melebarkan
kuasanya di Sumatera buat menjadi wakil mutlak Majapahit di sana. Maka
dipindahkannya sisa-sisa Sriwijaya ke hulu, diberinya nama Darmasyraya,
terletak di dekat Jambi sekarang. Kemudian dipindahkannyalah ke hulu lagi iaitu
ke Minangkabau dan dinamainya kerajaan Pegaruyung. Dia datang ke sana pada
tahun 1347M. Dengan meninggalnya Patih Gajah Mada pada tahun 1364M, lemah
Majapahit, maka sejak waktu itu Aditiawarman memaklumkan dirinya sebagai Sri
Maharaja Diraja dari Minangkabau.
Majapahit
dan Pasai Samudra
Di waktu kerajaan Majapahit mulai tumbuh, kerajaan Hindu
Jawa yang terakhir dalam kemegahannya, dan sebagai penganut agama persatuan
Syiwa/Budha, maka di Pasai-Samudra, di Sumatera sebelah Utara (Acheh) telah
mulai pula timbul kerajaan Islam yang pertama di Indonesia, atau di sebelah
Nusantara itu.
Kartarajasa adalah Maharaja Majapahit yang pertama
(1292-1309M) dan pada tahun 1297M, terdapat pula Raja Islam yang pertama di
Pasai, Al-Malik As-Saleh!
Bekas-Bekas
Zaman Lama
Jika kita lepaskan kepala kita daripada tekanan-tekanan
perasaan politik, niscaya akan timbullah ucapan terima kasih yang tidak ada
hingganya tentang jasa kaum Orientalis dan ahli-ahli purbakala terutama yang
berbangsa Belanda yang telah menolong kita di zaman sekarang dalam melanjutkan
penyelidikan sejarah bangsa kita. Dengan bersungguh-sungguh, sebagaimana
kebiasaan mereka, mereka telah menggali timbunan sejarah yang tidak kelihatan
lagi, baik pada batu-batu bersurat atau pada patung-patung pahatan atau dalam
catitan daun lontar, dalam masa yang kadang-kadang memakan waktu berpuluh-puluh
tahun. Karena kesungguhan itu, akhirnya mereka mendapatinya kembali dan mereka
persembahkan ke atas persada ilmu pengetahuan.
Dari bekas dan hasil penyelidikan mereka itulah kita
mendapat susunan kerajaan-kerajaan purbakala itu sejak dari masa kerajaan
Mulawarman, Tarumanagara, Sriwijaya, Kalinga, Kediri, Majapahit dan seterusnya.
Dalam sastera-sastera kuno kita pun ada peninggalan itu,
misalnya dalam kitab-kitab Pararaton dan Nagarakertagama (Jawa) dan Sejarah
Melayu (Melayu) dan ada yang tertulis dalam daun lontar. Tetapi hormat kepada
raja-raja menyebabkan tenggelamnya dokumen-dokumen itu ke dalam dongeng dan
khayal. Ahli-ahli itu telah menyesuaikannya dengan ilmu pengetahuan sehingga
dapat kembali menjadi barang yang hidup.
Borobudur 200 tahun yang telah lalu menjadi tumpukan
batu-batu yang tidak dikenal, demikian juga Prambahab dan Mendut. Ahli-ahli itu
telah mengerjakannya dengan sabar, sehingga Borobudur itu dapat dilihat kembali
menurut bentuknya yang asal. Dan kita telah mendengar nama Gajah Mada dalam
dongeng, tetapi ilmu pengetahuan pula yang telah membawa menjadi rangkaian kita
tentang sejarah tanah air kita. Tergoleklah arca Aditiawarman pada sepiring
sawah si Batanghari. Lututnya telah ‘telap’ bekas orang mengasah sabit dan
cangkulnya. Ahli purbakala menyelidikinya dan mengetahui bagaimana tinggi nilai
sejarah pada batu itu, sehingga pada tahun 1935 mulailah lebih jelas dan terang
sejarah Aditiawarman di Minangkabau, lebih jelas daripada yang selama ini. Saya
menyaksikan ketika arca besar itu dibawa dengan lori dari daerah Batanghari ke
Bukit Tinggi, dan beberapa tahun kemudian ‘bersemayamlah’ arca itu di gedung
Muzium pusat di Jakarta.
Banyaklah lagi bahan-bahan sejarah yang masih
bergelimpangan, sejak dari hujung pulau Weh (Sabang) sampai ke Irian. Dengan
dilanjutkannya Dinas Purbakala oleh Departeman Pendidikan Pengajaran dan
Kebudayaan, mudahlah orang yang datang di belakang melanjutkan penyelidikan
itu. Apabila mereka sabar, sesabar Prof. R.A Kem, Prof. N.J Krom, dan lain-lain
itu, baik menyelidiki patung atau menyelidiki bahasanya, akan hiduplah kembali
segala bekas-bekas purbakala itu, dan dapatlah kita mengetahui peranan yang
telah dilakukan oleh nenek moyang kita.
Dengan melihat sekali lintas nama-nama negeri, nama
gunung, nama kampong, demikian juga bacaan mantera-mantera dan jampi bahkan
dalam kata setiap hari yang lain-lain, kita rasai adanya bekas zaman purbakala
masa Hindu atau Budha, ataupun yang sebelum itu, yang sebagai Biaro (Biara) di
dekat Baso Bukit Tinggi , Kampung Periangan di Batusangkar, pulau Berhala di
muka Jambi, Parahyangan di tanah Sunda, bahkan nama Sunda itu sendiri, Bima di
Sumbawa, Gunung Sang Hyang (Sangiang), Gunung Den Hyang (Dieng) dan nama-nama
negeri-negeri besar sebagai Martapura, Inderapura, Inderapuri, Inderagiri. Pada
zaman sekarang pun ada juga usaha-usaha hendak memasukkan kembali bahasa-bahasa
Sanskerta itu ke dalam bahasa Indonesia, yang kadang-kadang serupa dipaksakan.
Begitu luas pengaruh Budha dan Hindu meliputi seluruh
Indonesia bahkan seluruh Nusantara, sehingga bekasnya itu jelas. Dan telah
berkembang pengaruh Hindu, jauh sebelum Nabi Muhammad lahir ke dunia, dan dapat
melihat bekas-bekasnya itu sampai sekarang. Boleh dikatakan bahwa Pengaruh
Hindu itu telah ada sejak abd-abad yang kedua Masehi, sampai kepada abad yang
keempat belas jadi 12 abad lebih kurang. Kemudiannya dia digantikan oleh Islam!
Dan Hindu hanya tinggal dianut oleh lebih kurang dua juta
daripada 105 juta, iaitu di pulau Bali. Dan 350 tahun pula di antara itu orang
Belanda berkuasa dan pengaruh Kristian masuk. Dia pun hanya dapat
mengkristiankan tidak lebih dari 5 juta.
Maka soal berkembangnya pengaruh Islam di Indonesia
adalah satu di antara soal besar, baik dipandang dari segi sejarah umum, apatah
lagi kalau dipandang dari segi Islam itu sendiri.
FASAL III: TERSEBARNYA
AGAMA ISLAM DI NEGERI-NEGERI MELAYU
Negeri-Negeri
Melayu Dan Hubungannya Dengan Hindustan Dan Arab
Yang kita maksud dengan negeri-negeri Melayu, atau boleh
juga dikatakan pulau-pulau Melayu, ialah sejak dari Semenanjung Tanah Melayu,
turun ke Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau Nusatenggara.
Pulau-pulau Maluku termasuk Irian, dan naik terus ke pulau-pulau Luzon dan
Mindanao yang disebut Filipina di waktu sekarang.
Dalam pembahagian politik dewasa ini negeri-negeri itu
sebahagiannya telah termasuk ke dalam wilayah Siam, iaitu Melayu Petani dan
Ligor. Semenanjung Tanah Melayu telah tersusun dalam kerajaan Persekutuan Tanah
Melayu sekarang yang telah mencapai kemerdekaannya pada tanggal 31 Ogos 1957.
Dan apa yang dahulu disebut Gugusan Pulau-Pulau Melayu (Malay Archipelago),
sekarang menjadi wilayah Republik Indonesia dan Kalimantan sebelah utara
(Brunei dan Sarawak); Brunei berpemerintahan sendiri di bawah seorang Sultan
dan Sarawak bersama Sabah merdeka dan bergabung dengan Malaya jadi Malaysia
pada 16-9-1963. Selanjutnya lebih ke Udara berjumpalah sambungan gugusan
pulau-pulau itu, Luzon dan Mindanao yang kemudiannya bernama Filipina, yang
kini telah menjadi sebuah Republik merdeka, yang didiami oleh sebahagian
terbesar pemeluk agama Kristian Katholik.
Masuknya agama Islam ke dalam negeri Melayu ini nampaknya
mempunyai keistimewaan sendiri, iaitu dengan jalan damai dan beransur, jarang
sekali dengan kekerasan dan diterima dengan sukarela oleh penduduk meskipun
tidak dengan sekaligus (kecuali daerah Bugis, yang di bawah naungan Makassar
diperangi oleh Makassar untuk memeluk Islam pada awal abad ke-17).
Sejak bangsa-bangsa Barat mulai memasuki negeri-negeri
Melayu ini di permulaan abad keenam belas (1511), dimulai oleh orang Portugis,
dituruti oleh Sepanyol, kemudian Belanda dan Inggeris. Dan pernah juga ikut
bangsa Perancis, maka beberapa ahli ilmu pengetahuan dan para penyelidik telah
berusaha menyelidiki bilakah masuknya agama Islam ke negeri-negeri ini. Agak
sulitlah mengumpulkan bahan-bahan itu, sebab negeri-negeri ini sangatlah jauh
daripada pusat permulaan tumbuhnya agama Islam, iaitu tanah Arab. Sehingga
lantaran itu, tidaklah dikirim ke tempat sejauh ini suatu misi angkatan perang
yang besar, sebagaimana dikirim ke anak Benua Hindustan, atau ke Mesir, atau ke
Semenanjung Iberia, (Sepanyol-Portugal), atau ke Asia-Tengah; yang semuanya itu
telah terjadi di abad-abad permulaan dari Islam terutama di zaman bani Umaiyah,
sehingga seorang sahabat Nabi, bernama Abu Musa Al-Asy’ari telah syahid di
pintu gerbang Constantinople masih di zaman Mu’awiyah.
Di
Zaman Permulaan Sekali
Tetapi karena ketelitian menyelidiki segala bahan yang
ada, bertemulah beberapa catitan penting dari pusaka Tiongkok; bahwa orang Arab
pelopor pertama dari Islam, telah datang ke negeri-negeri Melayu pada abad
ketujuh Masihi, artinya abad pertama dari Islam (tahun Hijrah dimulai pada
tahun 622M, dan Nabi Muhammad wafat tahun 632M).
Sebab itu menurut Sir Thomas Arnold; ‘Mustahil dapat
diketahui tanggal yang jelas dan tahun yang tepat bilakah masuknya agama Islam
ke pulau-pulau Melayu itu. Barangkali telah dibawa ke sana oleh
saudagar-saudagar Arab pada abad pertama dari Hijrah Nabi, iaitu lama sebelum
sampai kepada kita keterangan-keterangan tentang sejarah terjadinya pengaruh
agama itu di negeri-negeri itu. Yang menyebabkan bahwa kemungkinan seperti itu
sangat boleh jadi, ialah karena telah kita ketahui bahwa orang Arab telah
melakukan perniagaan yang sangat luas di bahagian negeri itu sejak masa
permulaan sekali. Pada abad kedua dari Hijrah perniagaan di pulau Ceylon
semuanya adalah dalam tangan mereka. Sejak permulaan abad ketujuh Masihi
perniagaan mereka telah sampai ke Tiongkok, dan sangat majunya, dengan melalui
Ceylon, sehingga di pertengahan abad kedelapan Masihi (masih abad pertama
Hijrah, Peny), saudagar-saudagar Arab itu telah mempunyai pusat perniagaan yang
ramai di Kanton. Di antara abad kesepuluh dengan abad kelima belas, sampai
datangnya bangsa Portugis, di tangan orang Arablah terpegang seluruh perniagaan
di sebelah Timur, dengan tidak ada siapa pun saingannya. Oleh sebab itu
dapatlah kita menyangka, dengan sedikit kepastian yang dapat diterima akal,
bahwa orang Arab telah meletakkan sendi-sendi daerah perniagaannya pada
beberapa pulau Melayu pada masa itu, sebagaimana yang mereka lakukan pula di
tempat-tempat yang lain di masa-masa permulaan itu.
Kemudian Sir Thomas Arnold menguatkan pula pendiriannya
berdasar kepada penyelidikan-penyelidikan yang telah dilakukan oleh ahli-ahli
sebelumnya. ‘Meskipun ahli-ahli geografi bangsa Arab belum menyebut-nyebut
pulau-pulau itu sebelum abad kesembilan belas Masihi (abad kedua dan ketiga
Hijriyah, Peny.), namun kita telah mendapat catitan-catitan tahunan yang
diperbuat oleh pelajar-pelajar bangsa Tionghoa pada tahun 684M., tentang
berjumpanya seorang pemimpin Arab,- yang menurut penyelidikan terakhir ialah
pemimpin dari satu koloni orang Arab di pantai pulau Sumatera sebelah Barat’.
Demikian keterangan Sir Thomas Arnold, yang dipetiknya pula dari hasil
penyelidikan W.P. Groeneveld; ‘Notes on the Malay Archipelago and Malacca,
compiled from Chinese sources (Vert. Bataviasche Genootschap van K. en. W.
Deel….1880).
Catitan
Dari Tiongkok
Yang teramat penting pula ialah tentang catitan Tiongkok
yang lain, yang menyatakan bahwa di ‘Cho’po’ ada sebuah Kerajaan bernama Holing
(Ho-Ling). Pada tahun 674-675M, diangkat oranglah seorang perempuan menjadi
Ratu, bernama Si Ma. Negeri Ho-Ling itu sangatlah aman dan makmurnya, dan Ratu
itu memerintah sangat adil dan keras menjaga keamanan. Kabar berita tentang
negeri itu terdengarlah kepada Raja Ta-Cheh. Lalu beliau utus orang ke negeri
itu untuk membuktikan perkabaran itu. Disuruhnya orang mencecerkan sebuah
pundi-pundi berisikan emas di tengah-tengah pusat kota negara itu, namun tidak
ada orang yang mengambilnya. Akhirnya setelah tiga tahun pundi-pundi berhujan
berpanas di tengah jalan, datanglah Putera Raja, lalu pundi-pundi itu
diambilnya. Bukan main murkanya Ratu mendengar kejahatan perbuatan anaknya,
sehingga diperintahkannya menteri-menteri membunuh anaknya itu. Dengan sangat
para Menteri memohon kepada Ratu supaya hukuman yang sangat keras itu jangan
dijalankan. Akhirnya diringankan, iaitu disuruh memotong kaki puteranya
itu.
Dalam rangka penyelidikan sejarah-sejarah kuno Indonesia
telah dapatlah ditafsirkan bahwa yang dinamai oleh ahli sejarah Tiongkok itu
Cho’Po’ ialah Tanah Jawa, dan Ho-Ling ialah Kerajaan Kalingga di Jawa Timur,
dan Ratu Si Ma ialah Ratu Simo, seorang Raja perempuan Pemerintah Kalingga pada
masa itu, dan diakui pula dalam sejarah bahwa memang beberapa kali Kerajaan
Kalingga itu mengirim utusan ke Tiongkok.
Adapun Ta-Cheh adalah nama yang diberikan oleh orang
Tionghua kepada seorang Arab. Dalam catitan itu disebut ‘Raja Ta-Cheh’, iaitu
Raja Arab.
Maka berkerutlah kening ahli-ahli penyelidik barat itu
mencari siapakah agaknya Raja itu. Bahkan ada saja yang segera mengambil
keputusan bahwa catitan orang Tionghua itu adalah dongeng saja. Tetapi pada
waktu-waktu terakhir itu sudah timbul dalam kalangan mereka yang meninjau
kembali dengan saksama cerita penulis-penulis Tionghua itu.
Sejarah Islam dengan jelas mencatit, bahwasanya ‘Raja
Besar’ Arab yang masyhur pada masa itu ialah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sahabat
Nabi dan pembangun pertama dari Kerajaan bani Umaiyah. Setelah diangkat oleh
Khalifah Umar bin Al-Khattab menjadi Gabnor di Syam, berkedudukan di Damaskus,
maka setelah dia menang berperang merebut kekuasaan dari Khalifah Keempat, Ali
bin Abi Talib, beliau memaklumkan dirinya sebagai Khalifah pada tahun 657M. Dan
beliau wafat pada tahun 680M.
Amat besar kemungkinan bahwa tidak ada orang lain tempat
memasangkan ‘Raja Ta-Cheh’ itu melainkan Mu’awiyahlah. Besar kemungkinan bahwa
penyelidikan ke Tanah Jawa amat rapat persangkutannya dengan usaha beliau
mendirikan armada Islam. Sebab beliaulah Khalifah Islam yang mula-mula
mendirikan Armada Angkatan Laut. Mungkin sekali bahwa setelah ‘utusan’ atau
mata-matanya menyelidiki sendiri ke tanah Jawa dan menguji perkabaran tentang
keteguhan hati Ratu itu memerintah, niat baginda hendak mengirim perutusan
memasuki pulau-pulau Melayu, beliau urungkan saja.
Besar pula kemungkinan bahwasanya ‘perkampungan’
(jahiliyah atau musta’mirah) orang Arab yang didapati oleh penulis Tionghua di
pantai sebelah barat pulau Sumatera itu ada sangkut paut yang rapat dengan
perutusan yang datang ke tanah Jawa, ke dalam Kerajaan Kalingga itu.
Dalam sejarah peribadi Mu’awiyah amatlah terkenal
kecerdikan dan kebijaksanaan baginda memerintah. Di antaranya baginda pun
mengadakan badan-badan ‘penyelidik’ untuk pergi melihat-lihat negeri orang.
Bertambah jelaslah bahwasanya orang-orang Arab itu sejak
abad-abad Hijrah yang pertama telah mengembara melalui Lautan Hindia, di
samping yng melalui jalan darat. Mereka telah berbuat perkampungan sendiri di
negeri-negeri yang mereka datangi itu. Tempat mereka singgah ialah pantai
Malabar dan Pulau Ceylon. Bahkan salah satu sebab maka pada tahun 711-712M.,
Gabnor negeri Iraq yang terkenal bengisnya itu, iaitu Al-Hajjaj bin Yusof
mengirim Angkatan perang memasuki Benua Hindustan sehingga sampai ke Multan di
kaki Gunung Himalaya, ialah karena raja pulau Ceylon mengirimkan kepada Hajjaj
itu beberapa orang gadis yatim, ayah mereka ialah saudagar-saudagar Arab yang
pernah kawin dengan penduduk bumiputera Ceylon. Maka ada di antara ayahnya itu
yang telah mati dan berangkat ke negeri lain, sehingga anak-anaknya telah
tinggal. Tetapi setelah gadis-gadis yatim itu dikirim dengan satu kapal dagang
hendak dibawa ke Iraq, tiba-tiba kapal itu dirompak oleh lanun dan anak-anak
itu diambil menjadi budak. Al-Hajjaj amat murka, sehingga penyerangan ke tanah
Hindustan yang telah lama direncanakan, segera dilaksanakan dengan menjadikan rompak-lanun
itu jadi alasan.
Langkasuka
Dari Tanah Arab
Kemudian itu timbul pulalah persoalan ahli-ahli
penyelidik, apakah Islam diterima langsung dari Tanah Arab, atau diterima
daripada orang Islam India?
Maka agak meratalah faham bahwasanya masuknya Islam ke
tanah Indonesia, atau ke negeri-negeri Melayu, bukanlah langsung dari Tanah
Arab, melainkan dari India, dari pantai Malabar.
Senafas dengan itu dikatakan, bahwasanya Islam yang
diterima di sini bukanlah lagi asli dari Arab, melainkan telah ‘dari tangan
kedua’. Iaitu dari orang Islam India dan orang Islam Parsi.
Maka untuk menjelaskan soalnya, lebih baik dipisahkan di
antara kedua soal itu.
Soal pertama ialah masuk ke negeri-negeri Melayu.
Soal kedua, pembawanya orang Arab atau orang Islam India
dan Parsi.
Menilik bahwasanya alat perhubungan pada masa itu ialah
kapal layar, belum lagi kapal-kapal besar sebagai sekarang yang dapat melalui
lautan dengan jarak jauh, niscaya tidak ada kemungkinan yang lebih dekat
daripada kebenaran bahwa pantai Malabar memang menjadi tempat persinggahan
besar daripada kapal-kapal Arab yang berlayar berniaga ke sebelah timur pada
masa itu.
Jalan ditempuh keduanya. Pertama menyusur pantai Lautan
Merah atau dari pantai sebelah selatan melalui Sungai Sind yang besar itu. Yang
menyusur pantai Lautan Merah menyusur pula sampai ke pantai Malabar. Jika angin
baik, karena dapat langsung menuju pelabuhan Kulam. Yang melaui Selat Parsi,
bertemu lagi di Laut Benggala dan menyamakan haluan menuju Kulam.
Pemusatan pertama ialah Basrah dan Siraf, kemudian itu
Oman, dari sana menuju pulau Ceylon, atau Malabar atau Koromandel. Kemudian itu
perhentian yang ramai terletak di tanah Melayu, iaitu di Kalah. Setengah orang
mengatakan Kalah itu ialah tanah genting Kra. Setengahnya lagi mengatakan
Kedah, dan pendapat terakhir (dari Prof. Fatemi, professor tetamu di Universiti
Malaya) ialah Klang.
Rowlandson berkata; ‘Orang Islam Arab itu sejak
pertama-tama sekali telah menetap di tepi pantai Malabar, di akhir abad
ketujuh’.
Dikuatkan pula pendapat ini oleh Francis Day dan
diperteguhkan lagi oleh Sturrock ‘Sudah dimaklumi bahwasanya pedagang Parsi dan
Arab telah menetap sejak dari abad ketujuh dan lama sebelumnya di pantai-pantai
sebelah Barat India itu, terpencar-pencar di berbagai tempat dan kawin dengan
perempuan bumiputera. Dan koloni mereka teristimewa di pantai Malabar adalah
besar dan penting’.
Yang giat melakukan pelayaran dan perniagaan itu ialah
orang Arab, orang Arab dari Oman, Hadramaut, Syamar, dan Bahrein.
Oleh sebab kekuatan politik terpegang di tangan mereka,
maka dengan sendirinya terpegang pulalah di tangan mereka kendali ekonomi.
Perniagaan dan pengembaraan ke Timur itu telah sangat subur di zaman bani
Umaiyah, dan lebih subur lagi di zaman bani ‘Abbas. Mereka telah mendirikan
koloni dan perkampungan di pantai Malabar, dan sampai kepada zaman sekarang
ini, golongan mereka itu, yang di sana dinamai orang kaum ‘Mepalla’ diakui
sebagai turunan Arab, dan mereka teguh memegang Mazhab Syafi’i, sebab Mazhab
Syafi’i telah tumbuh dengan suburnya di pantai sebelah Utara Tanah Arab itu
sejak abad-abadnya yang pertama.
Al-Mas’udi yang singgah di sana pada abad kesepuluh
(916M) mendapati tidak kurang daripada 10,000 orang Arab yang berasal dari
Siraf, Oman, Basrah dan Baghdad; lain dari keturunan-keturunan mereka yang
ibunya adalah perempuan bumiputera. Niscaya mereka itu terus berhubungan dengan
tanah asalnya dan mengembara pula berniaga ke sebelah Timur.
Peperangan yang diambil oleh Muslim dari Parsi, tentu ada
juga. Tetapi tidaklah dia yang pertama dan utama. Apatah lagi pada masa itu
orang Parsi sendiri pun telah tenggelam ke dalam kebudayaan Islam yang
sebahagian besar ditelan oleh suasana Arab. Sehingga meskipun dalam
perkembangan Islam itu sendiri terdapat orang-orang yang berdarah Parsi, namun kebudayaan,
cara berfikir, hasil usaha mereka semuanya adalah Arab, seumpama Imam Ghazali,
Abdul Qadir Jailani, Abu Yazid Bistami, yang semuanya itu, ada yang sedikit
darah campuran Parsi dan ada yang banyak, namun mereka disebut dan merasa
bangga jika disebut Arab. Bahkan Perawi Hadis yang sangat terkenal Imam
Bukhari, dari Asia Tengah, dengan bangga membangsakan dirinya kepada
‘Al-Ju’fiy’, sebab Kabilah bani Ju’uf dari Yamanlah yang diutus oleh Khalifah
membawa Islam ke negeri Bukhara itu.
Adapun setelah abad-abadnya yang kemudian, iaitu setelah
kekuasaan Islam merata di Hindustan sendiri, misalnya di dalam abad ketiga
belas dan seterusnya, memanglah bukan bangsa Arab saja lagi yang mengembara ke
negeri-negeri Melayu. Dan cara berfikir pada masa-masa yang demikian, jauhlah
berbeda dengan zaman sekarang. Setiap yang datang menunjukkan betapa
hubungannya dengan orang Arab. Banyak keturunan kaum Sayyid, keturunan Rasulullah
datang dari Hindustan atau dari Parsi dan banyak pula keturunan sahabat-sahabat
Nabi yang datang dari Malabar. Dan pada masa itu orang-orang negeri Melayu
sendiri pun telah mulai berhubungan langsung dengan Tanah Arab sendiri,
sehingga seorang guru Sufi yang besar Syeikh Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud
Al-jawi telah pergi ke Tanah Arab, sampai dia sendiri pun menjadi guru di sana
dan memberikan ijazah kepada murid-muridnya. Di antara murid yang diberinya
ijazah ialah Abdullah Al-Yafi’iy, seorang Ulama Tasawuf yang besar
(1300-1376M); pengarang kitab Raudhur-Raiyahin fi Hikayatis Salihin.
Kepercayaan
Turun Temurun
Percubaan mengatur secara ‘ilmiah’ agar orang dapat
menerima bahwa agama Islam di Indonesia bukanlah diterima langsung dari Tanah
Arab atau dari orang Arab, nampaknya adalah sebagai satu percubaan yang amat
teratur untuk menghilangkan keyakinan negeri-negeri Melayu tadi tentang
hubungan rohani yang mesra di antara mereka dengan Tanah Arab atau orang Arab sebagai
sumber pertama dari Islam.
Menjadi kepercayaan dengan pegangan turun temurun dalam
sejarah pada seluruh negeri-negeri Melayu, bahwasanya mereka menerima Islam
dari Arab, atau dari salah seorang Syeikh atau seorang Saiyid atau seorang
Waliullah dari Arab.
I
Yang pertama sekali, seketika menceritakan asal-usul
masuknya agama Islam ke negeri Samudera Pasai, bahwasanya Syarif Makkah
menyuruhkan Syeikh Ismail dari negeri Makkah datang ke Samudera Pasai, dan
supaya dia singgah di negeri Mu’tabar (Malabar) menemui seorang ahli agama
Islam yang akan bertugas menyebarkan agama Islam di negeri itu. Orang yang akan
ditemui di Malabar itu ialah Sultan Muhammad, dia adalah keturunan daripada
Sayidina Abu Bakar As-Siddiq, sahabat Nabi yang utama. Maka oleh karena
tertarik hatinya hendak menyebarkan agama Islam, ditinggalkannya kerajaannya,
lalu dia hidup sebagai ‘fakir’. Iaitu menjadi ahli tasawuf. Maka
dipanggilkanlah dia ‘Fakir Muhammad’.
Meskipun cerita ini berupa setengah dongeng, namun dia
adalah jelmaan dari kebenaran. Agama Islam masuk ke negeri-negeri Melayu, ialah
langsung dari sumbernya. Tanah Arab atau Makkah Al-Mukarramah dan singgah di
Malabar yang singgah adalah seorang Syaikh utusan Syarif Makkah dan yang
disinggahi adalah seorang bekas raja yang telah menjadi Sufi dan keturunan
Sayidina Abu Bakar.
II
Ketika Permaisura hendak pindah daripada agama Hindu
kepada agama Islam, dan akan menukar namanya dengan nama Islam, baginda
bermimpi bahwa akan datang besok pada waktu Asar sebuah kapal dari Jeddah,
membawa orang yang akan membawanya ke dalam agama yang benar dan akan menukar
namanya dengan nama Nabi.
Besoknya memang datanglah orang yang ditunggu itu, iaitu
Sayid Abdul Aziz yang datang dari Jeddah dengan sebuah kapal.
Orang Arab juga.
III
Kemudian tersebut pula bahwasanya yang mula-mula membawa
agama Islam ke negeri Acheh, yang lain dari kedatangan utusan Syarif Makkah
dahulu itu ialah Syeikh Abdullah Arif yang datang dari Tanah Arab. Muridnya
Burhanuddin menyebarkan ajaran agama Islam di Sumatera Barat, Pariaman.
IV
Maulana Malik Ibrahim yang dipandang sebagai pelopor
utama penyiaran Islam di Tanah Jawa, yang disebut juga dengan Maulana Maghribi,
yang dikatakan datang dari Kasyan (Parsi) dikatakan pula bahwa beliau adalah
keturunan Nabi Muhammad, bangsa Sayid. Keturunan daripada Ali Zainal Abidin cucu
Ali Bin Abu Thalib.
V
Sunan Gunung ‘Jati’ yang datang dari Pasai itu, dijelaskan
lagi bahwa beliau adalah bangsa Sayid juga, keturunan Rasulullah s.a.w. Disebut
namanya Syarif Hidayatullah atau Fatahillah, atau Falatehan, atau nama-nama
lain yang selalu menunjukkan kedudukannya sebagai keturunan Bangsawan Quraisy,
sehingga bangsawan-bangsawan Bantam dan Cirebon dengan tidak merasa syak lagi,
mengakui dirinya adalah keturunan Rasul.
VI
Dalam riwayat masuknya Raja Kedah pemeluk agama Budha ke
dalam agama Islam Maharaja Marong Mahawangsa, dikatakan pula bahwasanya yang
datang ke sana ialah Syeikh Abdullah, seorang alim bangsa Arab.
VII
Dalam catitan Raja-raja Maluku, iaitu Tidore, Bachan,
Ternate dan Jailolo, mereka keempatnya adalah keturunan daripada empat saudara,
putera daripada Imam Ja’afar Sadiq, keturunan Rasulullah.
VIII
Tersebut di dalam catitan sejarah Raja Tidore yang masih belum
beragama, bernama Chireli Lijatu, pemeluk agama Islam dan ditukar namanya
menjadi Sultan Jamaluddin karena seruan dari seorang Syeikh dari Tanah Arab
bernama Syeikh Mansur. Terjadi pada permulaan abad keenam belas.
IX
Tersebut di dalam sejarah masuknya agama Islam ke
Sukadana (Kalimantan), karena datang seorang Syeikh dari Makkah, namanya Syeikh
Syamsuddin membawakan hadiah ‘oleh-oleh’ dari sana iaitu sekeping Kitab Suci
Al-Qur’an dan sebentuk cincin bermata aqiq Yamani. Baginda pun merasa mendapat kehormatan
besar atas kedatangan Syeikh bersama dengan hadiahnya itu, sehingga baginda pun
memeluk agama Islam dan menurut pula seluruh rakyatnya. Lalu baginda memakai
gelar Islam, iaitu Sultan Muhammad Syafiuddin (Wafat pada tahun 1677M).
X
Raja-raja Brunei
(sampai sekarang) mempunyai pegangan bahwa nenek moyang mereka adalah
bangsa Arab, keturunan Nabi).
Masih di zaman Raja Islam yang pertama, iaitu Sultan
Muhammad I yang sebelum Islam bernama Awang betatar, datanglah ke Brunei
seorang alim dari Tha’if negeri Makkah, namanya ialah Syarif Ali. Beliau sangat
bersungguh-sungguh mengembangkan agama Islam di negeri itu, lalu dikawinkan
dengan seorang puteri kerajaan, anak daripada saudara Sultan, iaitu Bendahara
Patih Berabai. Setelah Sultan Muhammad I itu mangkat, dia digantikan oleh
adiknya itu, Bendahara Patih Berabai, memakai nama Sultan Ahmad I. Dan setelah
baginda ini mangkat, karena tidak mempunyai anak, diangkat oranglah menantunya
Tuan Syarif Ali itu menjadi Sultan Brunei yang ketiga, dengan tetap memakai
gelar Sultan Syarif Ali.
Baginda Sultan Syarif Ali itu mangkat pada permulaan abad
kelima belas. Digantikan oleh puteranya Sultan Sulaiman.
XI
Masuknya agama Islam ke pulau Mindanao adalah di dalam
abad kelima belas juga. Yang mula-mula membawanya ialah ‘Syarif’ Kebungsuan
yang datang dari negeri Johor. Kapten Thomas Forst, yang menulis catitannya
dalam tahun 1775M., mengakui bahwa orang Arab yang mula-mula masuk pulau
Mindanao 300 tahun yang lau, adalah keturunan-keturunan Syarif dari Makkah.
Kuburnya masih didapati, terbuat daripada batu-batu merjan bukit yang tegap (M.
S. 201-313)
XII
Dalam catitan sejarah Pulau Sulu (Filipina) memeluk Islam
yang datang ke sana ialah Sayid Abdul Aziz yang dahulu telah mengislamkan
Sultan Muhammad Syah di Melaka (Permaisura) itu juga.
Kemudian datanglah penyair Islam yang kedua, orang Arab
juga, namanya Abu Bakar. Dia datang ke sana sesudah melalui Palembang dan
Brunei. Sesudah dia barulah datang seorang bangsawan dari Minangkabau, Rajo
Bagindo.
XIII
Kemudian itu tidaklah dapat kita abaikan betapa
penghargaan dan kemuliaan yang diterima oleh keturunan Arab, terutama yang
berbangsa Sayid, meskipun kedatangan mereka adalah pada zaman-zaman agak
terakhir.
1.
Setelah
raja-raja perempuan memerintah di Aceh empat kali, maka naiklah raja-raja Aceh
yang dari keturunan Arab menjadi Raja, Sultan keturunan Arab yang pertama ialah
Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin (1699-1702M.) jadi di permulaan
abad kedelapan belas. Yang menggantikannya bangsa Syarif juga, iaitu Sultan
Perkasa Alam Syarif Lamtui bin Syarif Ibrahim.
2.
Beberapa orang
Hulubalang di Aceh sampai zaman habisnya kedudukan Hulubalang itu (1946),
adalah keturunan-keturunan Arab.
3.
Sultan Siak Seri
Inderapura ialah dari keluarga Ba’alawi bin Syahab.
4.
Sultan-sultan di
Pontianak ialah dari keturunan Ba’alawi; ‘Al-Qadri’.
5.
Raja-raja negeri
Perlis (Tanah Melayu) ialah dari keturunan Ba’alawi; Jamalullail. (Seketika
buku ini disusun Yang Dipertuan Agung, Kepala Negara Yang Tertinggi dari
Kerajaan Persekutuan Tanah Melayu ialah Raja Perlis; tuanku Syed Putera ibni
Almarhum Syed Hasan Jamalullail).
Inilah
kita kemukakan berapa ‘fakta’ yang kita pun insaf bahwa beberapa di antaranya
adalah ‘dongeng’ agaknya, seumpama catitan Sejarah Raja-raja Maluku yang
mengatakan bahwa nenek moyang mereka Sayidina Ja’far Sadiq. Atau sebuah dongeng
turun temurun di Nusatenggara, bahwa dahulu kala ada sebuah negeri besar di
antara Kerajaan Dompu dengan Bima; Rajanya mengolok-olok seorang bangsa Sayid
yang datang mengajarkan agama Islam ke tempat itu, dikecuhnya Sayid itu,
sehingga termakan olehnya daging babi. Maka tidak berapa saat setelah Sayid itu
meninggalkan tempat itu, meletuslah Gunung Tambora dan habislah musnah negeri
itu ditimpa laba gunung. Atau sebuah dongeng lain di Tenggarong (Ibu Negeri
Kerajaan Kutai), bahwa yang membawa agama Islam ke tempat itu ialah seorang
Sayid datang dari Demak, mengenderai seekor ikan todak.
Mana yang dongeng tetaplah menjadi
dongeng. Tetapi timbulnya dongeng adalah karena ada suatu kenyataan, yang
kelaknya mendorongnya untuk jadi dongeng. Iaitu peranan orang Arab amat besar
dan tidak dapat disungkut-sungkut atau dibungkus-bungkus demikian saja dalam
penyiaran agama Islam di negeri-negeri Melayu ini.
Prof.
Snouck Hurgronje, salah seorang pelopor yang amat penting di dalam mengemukakan
bahan-bahan bahwa pengaruh Parsi atau India (Malabar-Koromandel) yang lebih
benar di dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam di negeri-negeri Melayu ini,
beliau pun tidak dapat mengelakkan pengakuan bahwasanya pengaruh Arab atau
Makkah atas kehidupan Islam di pulau-pulau ini, sangatlah kuatnya. Lebih kuat
daripada di Turki, atau Hindustan, ataupun di Bukhara sendiri.
Maka pengaruh yang sangat besar inilah
rupanya, yang sangat terasa di dalam abad-abad kedelapan belas dan kesembilan
belas, di waktu perjuangan menanamkan penjajahan Belanda di Indonesia dan
Inggeris di Tanah Melayu sedang sangat memuncak. Maka penghalang terbesar dari
penanam penjajahan itu ialah rasa hubungan yang mesra dengan Arab itu.
Maka diselidikilah dengan segenap usaha
yang bersifat ilmiah, sehingga ‘terbuktilah’ bahwa Islam masuk ke Indonesia
tidaklah asli dari tanah Arab dan tidaklah penting peranan yang diambil oleh
orang Arab. Pengaruh Parsi lebih banyak di dalamnya, pengaruh Syi’ah pun lebih
banyak di dalamnya. Dikemukakan pula bahwasanya Islam di sini datang dari
Koromandel dan Malabar; sebab di sana orang menganut Mazhab Syafi’i tetapi
tidak diterangkan bahwasanya pemeluk Mazhab Syafi’i di Malabar itu adalah orang
Arab, atau keturunan Arab. Ada yang keturunan Syarif dari Makkah, atau
keturunan Sayid dari Hadramaut, atau keturunan Saiyidina Abu Bakar yang menetap
di Malabar.
Kesimpulan
Teranglah dari fakta sejarah, bahwa telah datang utusan
dari Tanah Arab ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 Masihi dan melawat ke negeri
Kalingga, pulang kembali setelah memerhatikan betapa besarnya pengaruh agama
Hindu dalam negeri itu, sehingga taktik penyiaran agama Islam ke negeri-negeri
Melayu tidak perlu dijalankan dengan kekerasan melainkan menurut kehendak agama
Islam itu sendiri. Tidak ada paksaan dalam agama.
Teranglah bahwa pada tahun 684M., telah ada koloni orang
Arab di Sumatera Barat.
Dan teranglah bahwa sejak abad kesembilan belas telah
banyak dibicarakan nama-nama pelabuhan-pelabuhan di negeri-negeri Melayu,
Kalah. Ada yang memberi arti Tanah Genting Kra. Ada yang memberi arti Kedah.
Dan paling akhir ada yang memberi arti Klang.
Teranglah bahwa sampai kepada abad kelima belas, sebelum
muncul bangsa Portugis, perniagaan di Lautan Hindi, sampai ke Tiongkok, melalui
pulau-pulau Melayu, adalah seluruhnya di tangan orang Arab. Bahkan Alfonso de
Albuquerque seketika hendak menyerang Melaka, dan dalam pertualangannya membuat
pusat perniagaan di Goa memakai penunjuk jalan orang Arab.
Jatuhnya Baghdad karena serangan bangsa Mongol Tatar pada
pertengahan abad ketiga belas, menyebabkan pindahnya pusat kegiatan Islam ke
Mesir di tangan Raja Mamalik. Kepindahan kegiatan ini menjadikan pantai-pantai
Lautan Merah lebih hidup hubungan lautnya daripada pantai Basrah, sehingga
lebih mudahlah pelayaran menuju negeri-negeri Melayu dan mendapat perhatian
dari Syarif Makkah sendiri tentang penyebaran Islam yang lebih giat.
Sehingga Sultan-sultan di Samudera Pasai memakai nama
Sultan-sultan Mamalik di Mesir; Al-Malikus-Saleh, Sultan pertama, diambil dari
nama Al-Malikus-Saleh Ayub, pembangun Kerajaan Mamalik yang pertama. Sultan
kedua Al-Malikuz-Zahir, seorang Sultan yang teguh mengembangkan Islam dan
menganut Mazhab Syafi’i, mengambil nama dari Sultan Mesir yang kedua
Al-Malikuz-Zahir Baibars. Yang seorang lagi memakai gelar Al-Malikul-Mansur
Qalawuun’, (1279-1290M.). Dan Raja-raja Pasai itu sezaman dengan permulaan
kerajaan Mamalik di Mesir itu.
Kemudian itu, di tahun 1453 (di zaman pemerintahan Sultan
Mansur Syah) Melaka, jatuhlah Kota Constantinopel ke tangan bangsa Turki, di
bawah pimpinan Sultan Muhammad ‘Al-Fatih’ (Penakluk). Dari sebab itu
tertutuplah jalan perniagaan bangsa-bangsa Eropah, terutama mencari
rempah-rempah, sehingga rempah-rempah di Eropah menjadi sangat mahal harganya.
Lalu dicarilah jalan lain ke India. Di tahun 1486 sampailah Bartholomeus Diaz
ke hujung Afrika Selatan, dan oleh karena kerasnya angin di sana, dinamainya
Tanjung itu Tanjung Topan. Nama yang buruk itu ditukar oleh Raja Portugis
menjadi Tanjung Pengharapan Yang Baik, karena ada harapan mencapai ’Hindia’.
Meskipun Islam mendapat laba menaklukkan Constantinopel
pada tahun 1453 Islam ditimpa kemalangan karena jatuhnya Kerajaan Islam paling
akhir di Sepanyol, iaitu kerajaan Granada pada tahun 1492. Maka pada tahun itu
juga Raja Ferdinand dari Castilia dan Ratu Isabella dari Aragon memberi bantuan
bagi Columbus untuk perjalanan mencari ‘Hindia’ kiranya Benua Amerikalah yang
bertemu.
Maka pada abad-abad kelima belas itu, meskipun peranan
pelayaran telah jatuh ke tangan Portugis, kegiatan Islam telah tumbuh di
Hindustan. Kerajaan bani Tuglug dari keturunan Turki telah bertakhta di negeri
Delhi. Meskipun dari jalan laut orang Arab tidak mendapat peluang luas selama
akhir abad kelima belas itu, namun mereka menempuh juga jalan darat. Mereka
telah mendapati pangkalan Islam yang kuat untuk bertapak; pertama Kerajaan
Pasai di Aceh, kedua Kerajaan Islam Melaka.
Di zaman Pasai dan Melaka saudagar-saudagar Islam dari
Arabia, dan ulama-ulama Islam, disertai oleh saudagar-saudagar dari Parsi,
Delhi, Malabar, dan Koromandel pun datanglah mengadu untungnya baik dalam
keuntungan duniawi, dan terutama sekali dalam keuntungan rohani.
D permulaan abad keenam belas, sebagai ganti Melaka berdirilah
Kerajaan Aceh di Sumatera dan kerajaan Demak di Jawa. Disusul kemudian oleh
Kerajaan Bantam. Kerajaan-kerajaan itu berjuang melepaskan perniagaan Indonesia
dan pulau-pulau Melayu dari kungkungan Portugis, dan hubungan dari tanah
daratan Hindustan atau dengan Parsi, apatah lagi dengan Tanah Arab berjalan
lancar. Bukan saja dari Makkah ulama-ulama Islam datang, bahkan juga dari
Turki. Sebaliknya orang-orang Melayu sendiri pun mengembara ke sana.
Kemudian itu bertambah hilanglah kesukaran hubungan itu, demi
setelah masuk abad ketujuh belas. Raja Mataram atau Bantam, atau Raja Aceh
telah mengirim utusan ke Delhi, Turki, dan kepada Syarif Makkah. Kadang-kadang
memohonkan pengesahan gelar Sultan karena hendak mengambil ‘berkat’ dari
pengakuan Syarif di Makkah itu. Padahal sudah dimaklumi bahwa sejak abad keenam
belas Syarif Makkah tidak berkuasa apa-apa lagi, karena telah di bawah naungan
Kerajaan Turki, dan sebelum itu di bawah naungan Mamalik.
Sejak abad ketujuh belas itu, mulailah datang pengembara
dan penyebar agama Islam dari Hadramaut, dan mulai pula banyak orang
negeri-negeri Melayu naik haji dan menuntut ilmu ke Yaman, Hadramaut, Makkah,
Madinah, Syam, dan Mesir. Seorang di antara Ulama Besar Islam dari Sulawesi,
yang masyhur dalam ilmu Tasawuf ialah Syeikh Yusof Tajul Khalwati. Dia menuntut
ilmu sampai ke Aden, Yaman, Makkah, Madinah, Syam, dan sampai ke Turki. Pada
masa itu pula Sultan Agung Tirtayasa menitahkan puteranya Sultan Haji naik
haji, sambil menambah-nambah pemandangan ke Istanbul.
Maka hubungan negeri-negeri Melayu dengan Arab itu telah
lama ada, menurut bukti-bukti yang kita kemukakan itu. Hanya terkendur sebentar
saja, iaitu di hujung abad kelima belas sampai kepada sedikit pangkal dari abad
keenam belas.
Dengan demikian tidak pulalah kita mungkiri betapa jasa
pemeluk Islam yang bukan Arab, terutama dalam abad kelima belas itu. Hubungan
ke sana amat lancar. Sehingga bukan saja orang Arab yang berniaga atau
mengajarkan Islam ke negeri-negeri Melayu. Bahkan amat penting pula peranan
orang Islam yang datang dari Parsi, atau Hindustan, bahkan juga dari Tiongkok.
Jasa Cheng Ho saja pun, utusan Kaisar Tiongkok, Duta Besar Berkeliling dan
Berkuasa Penuh, lagi Laksamana yang memeluk agama Islam turun temurun bermazhab
Hanafi, ayahnya haji, ibunya haji, bukan sedikit pengaruhnya di dalam
memperkuat Islam di negeri-negeri Melayu ini.
Ulama Syi’ah pun ada datang ke mari, terdapat kuburnya di
Aceh. Tetapi kedatangan Ulama-ulama Syi’ah pada abad kelima belas itu tidaklah
dapat menggantikan kedudukan mazhab Syafi’i Sunnah itu, yang telah menjadi
mazhab rasmi sejak Kerajaan Pasai, di abad keempat belas, bahkan sebelumnya,
dan menjadi mazhab rasmi pula dari Kerajaan Melaka. Sebab di samping
ulama-ulama bermazhab Syi’ah dari Parsi, pun tidak kurang pula datang ulama
Syafi’i dari Parsi juga As-Sayid Asy-Syirazi, yang diangkat menjadi Kadi Besar
oleh Sultan Al-Malikuz-Zahir di Pasai, tidaklah akan dapat mencapai pangkat
agama setinggi itu, kalau beliau bukan bermazhab Syafi’i. Yakni bila mengingat
dalamnya jurang antara Sunni dan Syi’ah, terutama di waktu itu. Sebab di Iran sendiri
sebelum kerajaan Shafawi (permulaan abad keenam belas) masih banyak ulama-ulama
bermazhab Sunni. Di antaranya ialah Abu Ishaq Asy-Syirazi, yang juga orang
Iran, yang dilahirkan di Syiraz bukanlah dia orang Syi’ah, tetapi bermazhab
Syafi’i (1002-1083M.). Beliau adalah guru daripada Imam Ghazali dan beliau
adalah pembangun dari Madrasah Nizhamiyah.
Memang didapati kuburan Ulama Syi’ah, di Pasai, tetapi di
samping itu didapati pula kuburan seorang Ulama Sunni, keturunan
Khalifah-khalifah bani Abbas, iaitu Al-Amir Muhammad bin Abdul Qadir, keturunan
Khalifah Al-Muntasir Al-Abbasiyah iaitu Khalifah yang nombor dua dari yang
penghabisan (Al-Musta’sim), yang meninggal di Pasai pada 23 haribulan Rajab
tahun 822H., (bersetuju dengan 15 Ogos 1419M.).
Dengan ini dapatlah disimpulkan bahwasanya mazhab utama
sejak permulaan ialah Mazhab Syafi’i dalam lingkungan Ahli Sunnah Wal Jama’ah,
Mazhab pegangan yang umum daripada orang Arab dan keturunan Arab di pantai
Malabar Koromandel.
Tersangat dalamnya pengaruh mazhab Syafi’i itu menjadi
bukti yang tidak dapat diabaikan sebagai pelopor utama daripada penyiaran Islam
di negeri-negeri Melayu ini ialah orang Arab. Di samping itu ada pula orang
Iran, baik yang menganut mazhab Sunni mahupun yang Syi’ah, sehingga tinggal
bekas-bekas adat istiadat dan kebesarannya tetapi tidak menjadi kepercayaan
dasar. Seketika orang Portugis telah masuk, dibawanya juga orang-orang Sipahi
yang bermazhab Syi’ah, mereka merayakan ‘Tabut’ Hassan Husain di pesisir
Sumatera barat, bertemu juga bekasnya beberapa masa kemudian. Sehingga kalau
ada orang bertabut di Pariaman, Padang Panjang dan Bangkahulu maka yang menjadi
pawang tabut itu ialah keturunan-keturunan orang Sipahi itu.
Adapun kalau kita hendak mengemukakan beberapa pengaruh
adat istiadat kebiasaan Parsi di negeri-negeri Melayu, maka haruslah yang
demikian itu kita sambungkan pula kepada pengaruh Iran (Parsi) di negeri Islam
yang lain, bahkan di Turki sendiri. Pengaruh ajaran Imam Ghazali orang Iran,
dan Abdul Qadir jailani orang Iran, Ibnu Sina orang Iran, bukanlah di
tanah-tanah Melayu saja, bahkan di seluruh Dunia Islam. Maka kalau dipandang
dari segi tasawuf, filsafat, kesenian, kebudayaan, tidaklah layak kita
mempersempit pengaruh bangsa Iran ke dalam pertumbuhan Islam kepada tanah-tanah
Melayu saja. Tetapi lebih luas dari itu, dia meliputi sampai seluruh Dunia
Islam; sampai-sampai ke Tanah Arab sebelah Barat (Maghribi), hingga pundi zaman
kejayaan Islam di Sepanyol.
Dari
Abad Ke Abad
Telah sama diketahui daripada dua buah catitan penting
orang Tionghua itu, bahwasanya di abad pertama dari Islam, atau abad ketujuh Masihi
orang Arab telah datang ke tanah Jawa pada tahun 674-675M., dan telah mendirikan
kampung di pantai Sumatera Barat pada tahun 684M. Yang pertama ialah pada tahun
52 Hijrah dan yang kedua pada tahun 62 H. Yang pertama pada zaman pemerintahan
Khalifah Mu’awiyah bin Abu Sufyan, pendiri Kerajaan bani Umaiyah yang kelima,
Abdul Malik bin Marwan.
Kalau belum ada berita lain yang membatalkan berita orang
Tionghua ini, yang dapat dipercaya menurut ukuran ilmiah, maka berita masih
tetap pada kekuatannya. Jadi nyatalah bahwa orang Islam telah datang ke
pulau-pulau Melayu (tegasnya Indonesia) pada abadnya yang pertama.
Dalam bukunya yang bernama ‘The Effect of Western
Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago’, kumpulan buah
fikiran Prof. Dr Schrieke halaman 35, beliau menyebutkan karangan Ferrand dalam
bukunya ‘L’Empire Sumatranais’; kita salin ke dalam bahasa Melayu; ‘Di halaman
lain kami membaca (Ferrand hal. 7) tentang sebuah armada terdiri daripada 35
buah kapal-kapal Parsi, belayar meninggalkan pulau Ceylon dalam tahun 717M.,
menuju Sriwijaya (jadi Palembang), dan tinggal di sana lima bulan lamanya,
kemudian melanjutkan pelayaran ke Tiongkok’.
Janganlah ragu bahwa ke-35 buah kapal itu adalah Arab,
meskipun dalam catitan Ferrand yang disalin Prof. Schrieke itu disebut kapal
Parsi. Karena pada tahun 717 Masihi kekuasaan Arablah atau lebih tepat
kekuasaan Islamlah yang telah meliputi Tanah Iran. Zaman itu ialah masa
pemerintahan Khalifah bani Umaiyah yang ketujuh, Sulaiman bin Abdul Malik,
bertepatan dengan tahun 98 Hijrah, artinya massih di dalam abad yang pertama,
meskipun telah di hujung.
Kalau kita ingat bahwa 2 tahun sebelum itu (715M.),
Angkatan Perang Islam di bawah Panglima Muhammad bin Qasim telah sampai
menginjak bumi Hindustan, ingatlah kita bahwasanya tanah Iran khususnya dan
Tanah Asia Tengah umumnya pada masa itu telah di dalam kekuasaan bani Umaiyah.
Jika ada kapal belayar dari Iran, adalah itu kapal Arab.
Sekarang nyatalah bahwasanya dalam abad kedelapan masih
tetap bersambung pengembaraan ke pulau-pulau Melayu yang telah dimulai pada
permulaan Islam itu. Tidak terputus, karena Sriwijaya pada masa itu dalam
puncak kemegahannya. Saudagar-saudagar dari Arab dan Parsi dan Hindustan
berniaga; membeli hasil bumi di Sriwijaya dan menjual kain-kain tenunan indah.
Meskipun pengarang-pengarang geografi Arab belum menyebutkan
keadaan pulau-pulau ini sebelum abad kesembilan, dengan keterangan Ferrand yang
dikuatkan oleh Prof. Schrieke itu sudahlah dapat disambungkan tali rantai yang
nyaris hilang. Dan dapatlah sekarang kita fahami bahwa pelayaran dan perniagaan
telah ramai sejak abad ketujuh dan kedelapan, dan di dalam abad kesembilan
barulah penyelidik-penyelidik geografi meletakkan perhatian, setelah menerima
berita-berita daripada orang yang kembali dari pelayaran itu.
Maka setelah abad kesembilan terus kepada abad kesepuluh,
ramailah ahli-ahli ilmu bumi bangsa Arab dan Parsi membicarakannya;
1.
Ibnu Khardazbah
(820-855M.). Pegawai Pos dan Berita. Pengarang Kitab ‘Al-Masalaik wal Mamalik’
yang sangat banyak dijadikan bahan di dalam menyelidiki ilmu bumi dan sejarah.
2.
Ibnu Faqih
(wafat tahun 902M.); Nama lengkapnya Abu Bakar Ahmad bin Al-Faqih Al-Hamdani.
3.
Ibnu Rustah
(wafat tahun 903M.), gelarnya Abu Ali, seorang Ulama dari Isfahan. Bukunya
‘Al-A’laqun Nafisah’ menerangkan kota-kota dan Bandar yang pernah dilawatinya.
Diterangkannya pula di dalamnya ilmu bumi dan ilmu falak.
4.
Saudagar
Sulaiman (wafat tahun 916M.). Pengembara dan ahli sejarah. Bukunya yang bernama
‘Silsilatut-tawarikh’ yang membicarakan pengembaraannya di Hindustan, Tiongkok
dan negeri-negeri yang disinggahinya di Nusantara ini amat penting dijadikan
orang bahan penyelidikan.
5.
Al-Mas’udi
(wafat tahun 956M.), gelarnya Abul Hasan. Bukunya yang terkenal ialah
‘Murujuz-Zahab’. Dia lahir dan hidup di Baghdad, lalu mengembara ke Parsi,
Karman, Hindustan, Ceylon dan Tiongkok. Kemudian ke Madagaskar, Asia Tengah,
Azerbaijan, Jurjan, Syam, Palestin dan Mesir.
Dari
mereka-mereka ialah orang mendapat kata-kata Kalah, Zabag, Surbuza, Sarirah dan
lain-lain yang kian lama kian terang setelah diselidiki bahwa semuanya itu
adalah di pulau-pulau Melayu dan Semenanjung Tanah Melayu.
Adapun
kedatangan Ibnu Batutah adalah yang terakhir iaitu di pertengahan abad keempat
belas (1345 dan 1346 Masihi), sehingga boleh dikatakan bahwa dia telah
mendapati saja adanya sebuah kerajaan Islam di pantai utara Aceh, iaitu Pasai
Samudera.
Malahan
sebelum kedatangan Ibnu batutah sekalipun, telah timbullah di Mesir suatu
‘dongeng’ yang terkenal, yang sekarang telah termasuk salah satu karya
kesusasteraan dunia yang besar, iaitu ‘1001 Malam’. Dalam kisah pelayaran
Sinbad banyaklah disebut tentang pengembaraannya di pulau-pulau yang keadaannya
sangat menyerupai keadaan pulau-pulau Melayu, dan disebutnya pula pulau Waq-waq
yang amat lama diselidiki orang, memang sebenarnya adakah pulau itu atau hanya
khayal saja. Kemudian ternyatalah bahwa pulau Waq-waq itu tidak lain tempatnya
hanyalah kepulauan Melayu juga iaitu Fak-fak.
Abad
Kesepuluh
Dalam tahun 1958 Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok
menyatakan bahwa telah didapati kuburan seorang Raja dari Indonesia, iaitu dari
Kalimantan, di negeri Tiongkok sendiri. Dan memang bertemu dalam sejarah Brunei
sendiri bahwasanya dalam tahun 1404 utusan Kaisar Tiongkok, Cheng Ho yang
terkenal, dan memeluk agama Islam telah membawa Raja Brunei itu mengadap
Serimaharaja Tiongkok, tetapi sayang sekali baginda mangkat di Tiongkok (di
Nanking) dalam perjalanan itu. Sehingga tidak kembali pulang lagi.
Tiba-tiba muncullah keterangan dari seorang orientalis
bangsa Swedia bernama Eric Mjoberg yang pernah menjadi pemimpin muzium Sarawak
dari tahun 1919 sampai 1926. Dia menyambut berita yang disiarkan pemerintah
Tiongkok itu, bahwasanya lama sebelum perutusan Raja Brunei ke Tiongkok pada
tahun 1404 itu, iaitu dalam tahun 977M. (abad kesepuluh) telah ada pula Raja
Brunei yang datang mengadap Seri Maharaja Tiongkok, menyatakan bahwa negerinya
tetap setia di bawah perlindungan kerajaan besar itu. Nama Sultan itu kata Dr.
Eric Mjoberg adalah Sultan Abu Ali. Baginda mengadap ke Tiongkok diiringkan
oleh dua orang wazirnya; keduanya orang Arab. Adapun Sultan yang mangkat di
Tiongkok dalam perjalanan di tahun 1404 itu bernama Sultan Maharaja Kali, dan
dalam catitan orang Tionghua disebut Manjihana. Kata Dr. Eric Mjoberg
selanjutnya, mungkin Sultan yang mangkat di Tiongkok di tahun 1404 adalah
keturunan daripada Sultan Abu Ali yang ke sana di tahun 977 itu.
Bahwasanya Sang Aji Brunei pernah mengadap Kaisar di
tahun 977, memang banyak tersebut dalam catitan sejarah. Tetapi Dr. Eric
Mjoberg memberi penjelasan yang lebih terang lagi bahwa rajanya bernama Abu Ali
dan pengiringnya adalah dua orang wazir bangsa Arab.
Kalau diselidiki lebih mendalam, sehingga terdapat bahan-bahan
kebenaran yang lebih terang, niscaya bukanlah Pasai atau Daya, Kerajaan Islam
yang mula-mula di tanah Melayu ini. Hal ehwal kuburan Sang Aji Brunei (Nama
‘Berunai’ adalah yang asal bagi seluruh pulau Kalimantan, dan ditulis oleh
Barat ‘Borneo’. Dalam sejarah-sejarah Tiongkok disebut ‘Puni’) berkubur di
Nanking itu pernah pembahasan di dalam kalangan pengetahuan sejarah di tahun
1958, di antaranya dibicarakan oleh Prof. Mr. Muhammad Yamin.
Abad
kesebelas
Menulis pula penyelidik DonaldMaclaine Campbel dalam
bukunya ‘Java’ (hal. 57-58) ‘Orang Arab dan orang Parsi telah turut mendirikan
perkampungan di Sumatera Barat (tentu yang dimaksudnya catitan tahun 684 itu). Pantai
Gersik dan Madura pernah mereka jadikan pangkalan untuk memperbaiki kapal-kapal
yang rosak dan tempat memuat barang makanan bakal berlayar. Bahkan mereka pun
telah turut juga mendirikan Kerajaan Janggala, Daha dan Singhasari. Di setiap
kerajaan itu orang Arab dan orang Parsi telah tinggal bermukim’.
Jika diingat bahwasanya Raja Airlangga memecahkan
Janggala menjadi dua kerajaan, iaitu Daha dan Kediri di pertengahan abad
(1049), lalu dipertautkan pula dengan tulisan yang bertemu pada batu nisan
seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang didapati di desa Leran
(Jawa Timur) bertarikh 495H., sesuai dengan tahun Masihi 1101, maka dengan
keterangan yang mana lagi kita hendak menolak bahwa masyarakat Islam, walaupun
kecil, telah ada di tanah Jawa pada abad kesebelas? Iaitu 400 tahun sebelum
berdiri Kerajaan Islam Demak? Dan jika Dr. M. D. Campbel telah menyebut bahwa
mereka turut mendirikan Kerajaan Janggala di abad kesebelas, maka keterangannya
bahwa mereka pun turut mendirikan Kerajaan Majapahit dengan sendirinya sudah
tidak sulit lagi.
Abad
Kedua Belas
Karena keterangan itu dengan sendirinya telah dapat kita
terima riwayat di Jawa Barat tentang Prabu Munding Sari dan abangnya Haji
Purwa. Tersebut dalam riwayat itu bahwa Raja Pajajaran mangkat meninggalkan dua
orang putera. Putera tertua menyerahkan kerajaan kepada adiknya, iaitu Prabu
Munding Sari, lalu beliau mengembara keluar negeri, sampai ke Hindustan. Dalam
perjalanan baginda bertemu beberapa saudagar bangsa Arab dan mereka memberikan
penerangan keindahan Islam kepada beliau, sehingga beliau pun tertarik ke
dalamnya, lau beliau terus naik Haji. Disebut Haji Purwa. Hal ini terjadi di
abad kedua belas (1195). Kemudian Baginda pun pulang kembali ke tanah air,
hendak mengajak seluruh keluarga kerajaan memasuki agama yang dipeluknya,
tetapi tidaklah mendapat sambutan yang baik, sehingga baginda pun meninggalkan
Kerajaan Pajajaran dan menghilang ke tempat lain (Cerita sejarah ini telah
dicatitkan oleh Veth (3) vol. 1. P.215. Dan Raffles (ed. Of 1830), vol II. Pp.
103, 104, 183. Dibawakan lagi oleh Sir Thomas Arnold dalam bukunya Seruan
Kepada Islam, hal. 416-417.).
Tidaklah perlu diselidiki lagi yang seterusnya ke bawah,
karena yang sukar ialah memudiki sejarah dari hulu, bukan menuruti hilirannya.
Masih tengah diselidiki yang disebut Kerajaan Islam Daya yang pernah berdiri di
Aceh di tahun 1205, (sebelum Pasai) dan rajanya disebut Seri Paduka Sultan
Johan Syah. Dan bolehlah sekarang kita meninjau kembali pegangan yang
ditinggalkan oleh penyelidik-penyelidik Belanda, bahwasanya Islam masuk ke
Sumatera di awal abad ketiga belas karena pada masa itulah Kerajaan Pasai
berdiri dan terus ke Jawa pada pertengahan abad ke-16 karena pada masa itu pula
Kerajaan Demak berdiri. Bolehlah sekarang kita bersedia buat menerima
bahwasanya Islam telah masuk ke Indonesia sejak abadnya yang permulaan, dan
masyarakatnya telah bertumbuh dari abad demi abad. Tetapi kerajaannya yang
teratur baru berdiri dalam abad ketiga belas, atau dahulu dari itu (Brunei)
dalam abad kesepuluh.
Penyelidikan dalam hal yang amat penting ini, belumlah
boleh dihentikan.
Mengapa
Tak Lekas Tersiar
Tentu timbullah pertanyaan; ‘Kalau benar bahwa sejak
abadnya yang pertama bangsa Arab sebagai pelopor Islam telah datang ke
negeri-negeri Melayu, mengapa baru pada abad ketiga belas ada kerajaan Islam
yang patut dikatakan teratur?’
Hal ini pun memang patut dijadikan pokok penyelidikan
yang mendalam lagi mengasyikkan.
Ada beberapa hal yang menjadi sebab penting makanya baru
di abad ketiga belas Kerajaan Islam berdiri di salah satu bahagian negeri
Melayu itu ialah di Pasai; dengan catitan bahwa adalah Raja Islam di Brunei
pada abad kesepuluh harus menjadi bahan penyelidikan tersendiri.
Pertama sekali ‘Pulau-pulau Melayu’ atau disebut juga
‘Jaza’ir Jawah’ (Pulau-pulau Jawa) dipandang sangatlah jauhnya dari Tanah Arab,
baik dari Damaskus pusat kekuasaan bani Umaiyah atau Baghdad pusat kekuasaan
bani Abbas. Bahkan sampai kepada tahun 1082 Hijrah (1670 Masihi), seketika
Syeikh Mulla Ibrahim Al-Kourani Ulama Besar Madinah menjawab sebuah pertanyaan
yang dikirimkan orang berkenaan ilmu tasawuf, beliau telah mengatakan tentang
‘Pulau-pulau Jawa’ itu; ‘ajaaba biha ‘an su’aalin warada min ba’dhi Jaza’iri
Jawah min aqsa bilaadil Hindi’. Artinya ‘Menjawab suatu pertanyaan yang datang
kepadanya daripada setengah pulau-pulau Jawa di balik negeri Hindustan yang
sangat jauh itu’ (Di dalam satu risalah bernama Assikul jaliy, fi hukmi
shat’hil waiy. Jawapan Mula Ibrahim Al-Qurani, Ulama Sufi yang besar di negeri
Madinah. Disalin oleh Sufi yang lain yang masyhur pula bernama Abdul Ghani
An-Nablusi).
Oleh sebab jauhnya, sangatlah berhati-hati Khalifah
Mu’awiyah yang mengirimkan armadanya ke kepulauan ini, sehingga perutusan yang
datang ke negeri Kalingga di tahun 684M., itu pulang kembali. Utusan melihat
betapa kuat kukuhnya kekuasaan Hindu di negeri ini, sehingga kalau hendak
datang, hendaklah dengan armada yang kuat kukuh. Sedang perlengkapan untuk
menyerang Constantinopel yang lebih dekat di zaman Mu’awiyah, tidaklah berjaya
sekaligus. 800 tahun di belakang itu barulah Constantinopel jatuh ke dalam
kuasa Islam.
Setelah pada tahun 712 Masihi, Al-Hajjaj bin Yusof
mengirimkan angkatan perang ke Sind (wilayah Pakistan sekarang ini) di bawah
pimpinan Jenderal Muda Muhammad bin Qasim, terjadilah perlawanan yang hebat.
Sejak itu sesudah beberapa abad kemudian telah datang pula pahlawan-pahlawan
Islam yang lain, sejak Mahmud Ghaznawi, Muhammad Ghori, Timurlane, sampai
kepada Kerajaan Mongol di India. Sejak Humayun, Akbar Syah, Jahangir gilang
gemilang dalam benua itu, karena negerinya memang kaya. Penyerangan besar yang
terakhir ialah Nadir Syah, pun membawa kekayaan yang berlipatganda. Tetapi
apakah hasilnya? Adakah seluruh India itu takluk? Seluruh India memang pernah
takluk kepada Islam. Islam pernah mendirikan Imperium besar berkali-kali di
negeri itu. Tetapi hasilnya ialah bahwa orang Islam tetap menjadi ‘golongan
kecil’. Sekarang dalam abad kedua puluh, setelah dua kerajaan berdiri; India
dan Pakistan, bertambah jelaslah bahwa kekuasaan Islam yang lebih 1200 tahun
itu tidaklah dapat merubah bahwa umat Islam tetap ‘minority’ (golongan kecil)
di Hindustan, sehingga terpaksa juga akhirnya kaum Muslimin mendirikan Republik
sendiri.
Khalifah-khalifah di Damaskus dan di Baghdad niscaya tahu
bahwa ada negeri besar, subur, terdiri dari pulau-pulau yang beribu banyaknya,
‘di hujung tanah Hindustan yang sangat jauh’. Apatah lagi setelah datang
berita-berita yang dibawa oleh armada yang terdiri daripada 35 kapal yang
singgah di pelabuhan Sriwijaya (Sungai Musi) di tahun 717M., itu. Besar sekali
kemungkinan bahwa setelah mengukur kekuatan dan kemungkinan, maka penyebaran
cita-cita Islam diserahkan saja kepada saudagar-saudagar Islam yang pulang
balik ke India, ke Tiongkok dan singgah di pulau-pulau itu. Apatah lagi setelah
400 dan 500 tahun di belakang tidak ada lagi suatu pusat kesatuan yang kukuh
dari Kerajaan Islam. Sudah ada Kerajaan-kerajaan Islam di Baghdad (bani Abbas),
di Mesir (Fatimiyah) di Andalusia (bani Umaiyah) yang kadang-kadang timbul pula
perebutan kuasa dan pengaruh di negeri-negeri itu sendiri, sehingga bertambah jauhlah
kemungkinan mengadakan armada besar untuk menaklukkan pulau-pulau Melayu dengan
expedisi tertentu itu. Lantaran itu maka tugas saudagar tadilah yang lebih
penting.
Semangat persaudagaran, iaitu ‘laba-rugi’ jauh berbeda
dengan semangat suatu angkatan perang yang memperhitungkan ‘alah-menang’.
Lantaran itu maka di kepulauan dan negeri-negeri Melayu berlaku
sebenar-benarnyalah ayat ‘tidak ada paksaan dalam agama’. Dan membuat hubungan
yang sebaik-baiknya dengan pihak yang berkuasa.
Maka membuat perkampunganlah mereka di negeri orang Hindu
itu. Di tepi pantai Aceh, di tepi pantai Sumatera Barat, di tepi pantai Jawa
Utara, di tepi pantai Brunei. Oleh karena mereka orang kaya, kadang-kadang
masuklah mereka ke dalam istana dan mendapat penghargaan di situ. Sampai
menjadi anggota perutusan Sang Aji (Raja) Brunei. Sampai turut mendirikan
Kerajaan Janggala, Daha, Singhasari, Kediri, dan Majapahit.
Tuntutan daripada ajaran Islam sendiri pun amat jelas,
untuk menjadi pegangan mereka. Peraturan Islam membagi negara-negara (Dar)
kepada tiga macam saja; Darul Islam, Darul Kuffar, dan Darul Harb.
Negeri-negeri yang ditaklukkan oleh Islam dan telah dapat
didirikan di sana hukum syariat Islam, di bawah pimpinan Khalifah, bernama
Darul Islam. Negeri yang belum menerima Islam, dan pimpinan tidak di tangan
Khalifah Islam, bahkan di tangan kerajaan yang bukan Islam, dinamai Darul
Kuffar. Dan negeri yang sedang berperang dengan kekuasaan Islam bernama Darul
Harb (negeri yang sedang berlaku padanya peperangan).
Maka adalah peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh
seorang Muslim bila dia tinggal dalam ketiga macam negeri itu. Adapun kalau
tinggal di Darul Kuffar, hendaklah perhatikan, adakah kita sebagai Muslim
mendapat kebebasan melakukan ibadat kepada Tuhan, diusirkah kita dari negeri
itu atau tidak. Kalau tidak, maka bolehlah kita tinggal sementara dalam negeri
itu sambil menyebarkan juga faham agama kita tanpa kekerasan. Tetapi kalau
keadaan sudah mengizinkan, hendaklah selalu berusaha agar negeri itu menjadi Darul
Islam.
Dalam keadaan yang seperti itulah kedudukan umat Islam di
kepulauan Melayu beratus tahun lamanya. Dan tidak ada kemungkinan lain daripada
itu, karena kekuasaan Hindu masih kuat. Sehingga di dalam abad kedua belas,
seorang Raja Pajajaran telah tertarik kepada Islam. Tetapi karena dia hendak
berjalan terburu-buru, iaitu mengajak saudaranya masuk Islam (Prabu Munding
Sari), gagallah langkahnya dan terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan
hidup ke daerah lain yang telah ada perkampungan Islam.
Niscaya pada masa itu orang Islam dipandang orang asing,
walaupun mereka telah hidup dua tiga turunan di negeri itu. Pada masa itu orang
masih memakai budak dan hamba sahaya. Orang Islam membeli budak dan
memerdekakannya, lalu membawanya jadi Islam. Niscaya dengan demikian
budak-budak itu terlepaslah dari masyarakat Hindu yang besar itu. Dan
orang-orang Islam itu kawin pula dengan perempuan anak negeri. Niscaya keluar
pulalah anak itu dari dalam masyarakat Hindu, sebab sudah bersuami ‘orang
asing’.
Barulah pada abad ketiga belas orang Islam, sempat
mendirikan Kerajaan Merdeka tepi pantai Tanah Aceh Utara itu (Pasai Samudera),
karena mereka telah banyak di sana. Telah ramai dan telah turun-temurun, dari
perkawinannya dengan anak negeri. Tetapi mendirikan kerajaan itu pun dengan
sangat hati-hati sekali.
Mengapa baru pada waktu itu?
Memang pada waktu itu, karena selama itu kerajaan
Sriwijaya masih kuat. Sriwijaya menguasai selat Melaka. Kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya yang beragama Budha itu pengaruhnya pernah sampai ke Ceylon. Di tahun
1028M., Cholamandala (Negara Hindu di India Selatan) pernah berperang dengan
Sriwijaya. Maka oleh karena kekuatan angkatan laut Sriwijaya sudah sangat lemah
sebab berperang sebelum itu dengan Kerajaan Madang Kemulan, mudahlah
Cholamandala mengalahkannya. Sejak itu terjadi peperangan Sriwijaya dengan
Singhasari, dan pernah pula Siam merebut daerah Sriwijaya di Semenanjung Tanah
Melayu.
Di saat-saat seperti demikianlah baru umat Islam dengan
sentosa dapat medirikan Kerajaannya yang pertama di pantai Aceh Utara itu, di
tepi pantai Selat Melaka. Dan itu pun dengan sangat hati-hati. Karena meskipun
Sriwijaya telah runtuh, ancaman Kerajaan Siam dari utara masih ada, malah
pernah Pasai diserang Siam dan putera mahkotanya ditawan. Dan akhirnya setelah
Majapahit menggantikan kedudukan Kerajaan Hindu yang sebelumnya di Jawa, dan
telah mulai kuat di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, menyerang dan
menghancurkan Kerajaan Islam yang pertama itu menjadi salah satu rencana
istimewa dari Kerajaan Hindu Majapahit itu.
Dan sampai juga Kerajaan itu diserang pada tahun 1350M.,
(selama Gajah Mada masih hidup), atau tahun 1377M., (setelah Gajah Mada mati,
tetapi Kaisar Hayam Wuruk masih hidup dan masih meneruskan politik Gajah Mada).
Apabila Pasai telah lemah naik pulalah Kerajaan Islam
Melaka. Rajanya yang beragama Hindu terus memeluk Islam, karena melihat bahwa
Umat Islam dan perniagaan Islam telah sangat maju.
Di zaman kebesaran Pasai, raja-rajanya mulailah berusaha
menyebarkan Islam ke daerah yang masih belum beragama. Dan umat Islam di Jawa
dan di tempat lain memandang bahwa Pasailah sendi kekuatan mereka dan
perlindungan mereka, lalu mereka belajar agama Islam ke Pasai. Banyak orang
Jawa berpindah ke Pasai. Dan setelah Pasai jatuh, Melaka naik, orang Islam di
Jawa pun berkampung di sana.
Berjalan
Terus Dalam 14 Abad
Demikianlah perjalanan Islam dalam masa 14 abad; tumbuh
sejak abadnya yang pertama dengan lambat tetapi tetap. Jarang sekali ada
kekerasan, kecuali apabila telah ada pertentangan politik atau perebutan
kekuasaan dengan kerajaan lain, sehingga kekerasan yang patut dicatit barulah
terjadi di dalam abad keenam belas, seketika Demak memberikan pukulannya yang
terakhir terhadap Majapahit yang memang telah lemah juga.
Kadang-kadang pemeluk Islam telah ada di tepi pantai
suatu kerajaan, tetapi di pusat kerajaan, agama Hindu atau Budha masih teguh.
Orang Islam telah ada di pesisir Pariaman dan Tiku, yang mengalir dari Aceh di
dalam abad keempat belas, sedang Seri Maharaja Diraja Aditiawarman masih
menjadi Yang Dipertuan Minangkabau. Islam telah ada di pantai Jaratan,
Gersik dan Tuban, sedang Seri Maharaja
Majapahit masih bersemayam di istananya yang indah.
Pihak agama yang masih berkuasa (Hindu atau Budha atau
gabungan keduanya; Syiwa-Budha) tidak pula berhenti berusaha keras hendak
membendung pengaruh agama Islam itu. Dalam kesusasteraan Jawa pusaka zaman
kekuasaan Hindu itu masihlah terdapat sampai sekarang, menghina atau mengejek
Islam. Tetapi dengan adanya sandaran kekuasaan Islam, iaitu Pasai dan Melaka,
kesusasteraan itu tidak dapat lagi menghalangi lebih berkembang biaknya Islam.
Sampai sekarang ini sudah abad keempat belas Islam, atau
abad kedua puluh Masihi, perkembangan itu masih demikian keadaannya. Masih ada
negeri-negeri yang baru memeluk Islam dalam abad kedelapan belas, atau abad
kesembilan belas (sebagai Kerinchi di Sumatera Barat). Padahal seketika seorang
pengembara Tiongkok datang ke Lamuri di tahun 1413 didapatinya penduduk negeri
itu tidak kurang dari 1000 rumah tangga, semuanya Islam. Dan Haru demikian
pula.
Islam telah masuk ke negeri Palembang dari Demak dalam
tahun 1440, sedang daerah Hulu Palembang pada masa itu belum beragama. Setelah
ada Sultan Palembang barulah penduduk
Komering dan Ogan diseru masuk Islam. Dan pada masa itu daerah Rejang belum lagi
Islam. Daerah Rejang baru masuk Islam dalam abad kesembilan belas.
Seketika seorang anggota perutusan Tiongkok datang ke
Jawa dalam tahun 1413 (perutusan Cheng Ho), yang sebahagian besar beragama
Islam, dia menerangkan bahwa penduduk dalam Kerajaan Majapahit dilihatnya
terbagi tiga macam; ‘Di negeri ini terdapat tiga macam golongan. Pertama
golongan Islam yang datang dari sebelah Barat dan telah tinggal menetap di
sana. Pakaian mereka dan makanan mereka bersih dan enak. Yang kedua orang
Tionghua yang lari dari negerinya dan menetap di sana. Makanan yang mereka
hidangkan pun bagus juga. Dan banyak di antara mereka telah memeluk agama Islam
dan mereka amalkan dengan baik segala ajarannya. Yang ketiga ialah penduduk
asli yang sangat kotor dan busuk, pergi dan pulang tidak memakai terompah dan
tidak bersongkok kepala. Mereka itu sangat percaya dan takut hantu syaitan.
Oleh karena negeri mereka terkenal dalam keadaan demikian, maka di dalam
kitab-kitab disebut nama negeri itu ‘Negeri Hantu’ (Groeneveld, pp. VII.
49-50).
Kadang-kadang sebuah kekuasaan atau kerajaan Islam tidak
dapat dihambat berdirinya lagi, maka yang teguh memegang kepercayaan yang lama
lalu mengundurkan diri lebih dahulu, sebagai orang Badwi di Bantam, orang Tengger
di gunung Bromo, orang Kubu di Minangkabau (Orang Kubu yang menurut istilah
sekarang disebut ‘suku terbelakang’ masih banyak terdapat di Hulu-Jambi, dekat
Sorolangun dan Rawas dan di Hulu Kuantan dan Peranap. Setelah diselidiki,
ternyata bahwa mereka mengakui asal usul dari Minangkabau, memegang Adat
Perpatih nan Sebatang. Pepatah Petitih Minangkabau yang indah-indah dan asli
masih mereka pakai setiap hari. Kabarnya konon mereka tinggalkan daerah asalnya
itu karena ‘cupak sudah dialih orang menggalas, jalan ditukar oleh orang lalu’.
Tetapi mentera-mentera dukun mereka dimulai dengan ‘Bismillah’).
Kadang-kadang masuk Islam sekampung-kampung karena
mendapat seorang guru agama Islam yang sabar. Orang Dairi di Sidikalang baru
massuk Islam sekampung demi sekampung pada abad kedua puluh ini (1925), bahkan
sampai sekarang karena kedatangan seorang Guru dari Bayur Maninjau ke negeri
itu, bernama Gindo Muhammad Ariffin.
Kadang-kadang pegawai pemerintah Hindia-Belanda yang
beragama Islam diangkat menjadi pegawai di daerah yang belum Islam, lalu dia
menyebarkan ajaran agamanya sambil bekerja, maka banyaklah orang yang belum
beragama Islam menjadi Muslim karena ajakan pegawai itu,sehingga Prof. Snouck
Hurgronje memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia-Belanda supaya dihentikan
mengirim pegawai Islam ke negeri yang belum Islam.
Kadang-kadang setelah masuk penjajahan asing suatu negeri
telah menerima agama Kristian dalam abad kedelapan belas (Bolang Mongandow) dan
rajanya telah menjadi raja beragama Kristian (Jacob Manoppo, 1689-1709M.), dan
raja-raja yang memerintah sesudah dia, sampai tahun 1844 terus beragama
Kristian. Kemudian datang penyiar Islam yang pandai, di tahun 1832 seorang
Arab, datang dari Makassar, sehingga lantaran kebaikan hubungannya dengan Raja
Comelius Manoppo yang beragama Kristian itu, dapatlah dia kawin dengan puteri
raja yang masih Kristian. Lama pengaruhnya kian mendalam di negeri itu,
sehingga akhirnya Raja Jacob Manuel Manoppo dengan tidak ragu-ragu lagi
menyatakan dirinya seorang Raja Islam. Dan setelah itu, mengikut pula kerajaan
tetangganya, Raja Bolang Oki. Dan sampai sekarang tetaplah kedua kerajaan itu
kerajaan Islam.
Gambar gereja yang
terdapat di salah satu kawasan di negeri Terengganu, Malaysia menggambarkan
kesan perhubungan antara golongan penganut Kristian dan penganut Islam di
kawasan wilayah Kepulauan AsiaTenggara ini.
Kadang-kadang orang Islam pula yang terdesak oleh
Kristian, sebagai di pulau-pulau di hadapan Minahasa, Sangir dan Talaud.
Dua suku bangsa adalah menjadi pelopor yang kuat dalam
penyebaran islam. Pertama orang Minangkabau dengan kelancaran lidahnya. Mereka
mengembara ke Ambon, ke Bugis dan Makassar, ke Brunei dan Sarawak, sampai ke
Mindanao, sampai juga mendirikan negeri bercorak Minang di Semenanjung Tanah
Melayu (Negeri Sembilan). Kedua ialah suku bangsa Bugis, pengembara, pengharung
lautan dan gagah berani. Di mana mereka melabuhkan perahunya di sana mereka
mendirikan kampung, lama-lama menjadi negeri, lama-lama mereka menjadi Raja
atau Sultan di tempat itu, mengembangkan Islam.
Datangnya penjajahan Barat tidaklah dapat menghalang
perkembangan Islam itu. Bahkan itu pulalah yang menjadi salah satu perangsang
untuk dia berjuang lebih giat. Karena penjajahan senantiasa diperlengkapi
dengan zending dan missi Kristian, yang telah menjadi tentangan hebat bagi
Islam, untuk menentukan hidup atau mati. Akan digantikanlah tempatnya oleh
agama yang terletak dalam sampul penjajahan itu, atau dia akan tetap menguasai
alam fikiran umat.
Seketika penjajahan telah datang, maka penyelidikan
kepada perjalanan sejarah menunjukkan bahwa perkembangan Islam itu berjalan
dengan tenang. Cuma agama Kristianlah sebagai yang dipaksakan oleh Portugis dan
Sepanyol. Di pulau-pulau Sulu dan Mindanao terasa benar betapa hebatnya
peperangan atau jawaban pihak Islam yang sedang tumbuh dengan Kristian Katholik
yang dipaksakan oleh Sepanyol.
Kadang-kadang terjadilah perlumbaan hebat di antara Islam
dengan Krisitan memperebutkan daerah yang masih kosong dari kedua agama itu,
sebagaimana terdapat di daerah Tapanuli. Dari sebelah utara kaum Muslimin Aceh
menyerbu dengan keteguhan hatinya, sehingga dapatlah daerah Gayo dan Dairi
beransur, tetapi terus memeluk Islam. Dan dari sebelah selatan iaitu daerah
Minangkabau , maju pula kaum Paderi membawa tauhid ke daerah Mandahiling. Di
tengah-tengah iaitu daerah Batak masuklah Rhynsche Zending dari Jerman. Maka
terpulaulah daerah Tapanuli Utara yang beragama Kristian di antara Aceh dengan
Minangkabau. Paling akhir ini, selepas tahun 1945, orang Batak Toba pula yang
menyerbu mengadakan perpindahan besar ke daerah Islam, sehingga di bahagian Rao
telah terdiri beberapa gereja.
Sampai sekarang masih ada lagi daerah yang menjadi
perebutan itu. Sebagai daerah Dayak di Kalimantan, daerah Toraja di Hulu Bugis,
daerah Pagai dan Nias di pulau-pulau di hadapan Sumatera Barat.
Oleh sebab itu dapat agaknya dikatakan bahwasanya
penyebaran Islam di pulau-pulau dan negeri-negeri Melayu ini lain daripada yang
lain. Dia selalu berkembang dan selalu berjuang, bukan dengan kekerasan senjata,
tetapi karena perkembangan cita, dijalankan dengan dakwah yang
bersungguh-sungguh ataupun bermalas-malas. Sehingga amat bergantunglah kemajuan
Islam itu kepada keteguhan peribadi dan iman dari mereka yang menyebarkan.
Zending yang tertentu, sebagaimana yang diatur oleh pemeluk agama Kristian
Protestan dan Katholik belumlah ada. Sebahagian besar penyebaran agama Islam
dijalankan dengan sukarela.
Pembahagian
Zaman
Setelah diselidiki pertumbuhan dan perkembangan agama
Islam di negeri-negeri Melayu itu dari abad kea bad sejak abadnya yang pertama,
iaitu pertengahan abad ketujuh Masihi, abad Pertama Hijriyah, sampai kepada
abad kedua puluh, atau abad keempat belas Hijriyah, kita cubalah menyusunnya,
dan mungkin agaknya susunan itu mendekati kebenaran.
ZAMAN
PERTAMA
(ABADKETUJUH,
KEDELAPAN, KESEMBILAN)
Saudagar-saudagar dan pernah juga utusan dari umat Islam,
yang berintikan bangsa Arab telah datang bonding demi bonding ke negeri-negeri
Melayu. Ada yang singgah saja da nada yang menetap, sehingga mereka tidak
terganggu mengerjakan agama mereka.
ZAMAN
KEDUA
(ABAD
KESEPULUH, KESEBELAS, KEDUA BELAS)
Sudah mulai ada golongan-golongan kecil umat Islam di
negeri-negeri Melayu. Hidup dengan bebas melakukan amal agamanya. Meskipun
mereka ituada orang Arab da nada orang Parsi, atau yang lain, namun mereka
tergabung dalam satu kata Islam, iaitu ‘Umat’, Mereka hidup berbaik-baik dalam
Kerajaan Hindu Langkasuka, Sriwijaya, Janggala, Daha, dan Singhasari. Dan
kadang-kadang sudah mulai mereka mendekati pihak kekuasaan (menjadi anggota
perutusan Kerajaan Brunei ke Tiongkok tahun 977M.).
Dengan amat perlahan orang-orang Islam dari luar negeri
itu menjadi penduduk negeri yang didiaminya, karena perkawinan mereka dengan
perempuan anak negeri. Anak yang mereka turunkan dengan sendirinya menjadi umat
Islam. Dan budak-budak yang dibeli oleh umat Islam tadi, kebanyakan dengan
sukarela memeluk agama tuannya, karena nasibnya lebih baik dalam perlindungan
tuannya itu. Bahkan dipercayai sebagaimana mempercayai anaknya sendiri.
ZAMAN
KETIGA
Kerajaan Hindu dan Budha mulailah menurun mundur,
Sriwijaya kian lemah sesudah perang dengan Madangkamulan dan Cholamandala.
Sedang Islam telah naik kembali karena pusat kegiatan Islam berpindah dari Baghdad ke Mesir (di zaman
Raja-raja Mamalik). Keadaan yang demikian menimbulkan semangat baru dalam
kalangan umat Islam.
Mulailah berdiri Kerajaan Islam mulanya di Daya (?) Aceh,
kemudian menyusul Samudera-Pasai. Oleh sebab Kerajaan Mamalik Mesir itu
melindungi juga Makkah dan Madinah (memakai gelar Khadimun Haramain), maka
Syarif Makkah turut memberikan bantuan atas berdirinya Kerajaan Samudera di
samping itu dibantu pula oleh keturunan-keturunan Arab dari Malabar.
Kerajaan Pasai berkembang sampai akhir abad keempat belas.
Di pertengahan abad keempat belas itu berdiri Kerajaan
Melaka, menyambung kebesaran Pasai. Sedang Majapahit sebagai pusat kemegahan
Hindu-Budha (Syiwa-Budha) karena kematian Patih Gajah Mada dan Seri Maharaja
Hayam Wuruk, mulai mundur.
Perkembangan Pasai amat besar artinya menimbulkan
kekuatan seemangat dari seluruh umat Islam yang hidup terpancar-pancar di
negeri-negeri Melayu, terutama di utara Tanah Jawa.
Berdirinya Kerajaan Melaka di akhir abad keempat belas,
sangat besar artinya bagi perkembangan pengaruh Islam di seluruh negeri-negeri
Melayu, terutama karena Raja-rajanya mengatur Politik Luar Negeri dengan
bijaksana sehingga mendapat pengakuan dari Tiongkok. Islam telah berkembang
sampai ke Maluku dan Kalimantan.
Dan Melaka jatuh di awal Abad Keenam Belas.
ZAMAN
KEEMPAT
(ABAD
KEENAM BELAS)
Jatuhnya Kerajaan Melaka karena datangnya penjajahan
Barat (Portugis). Tetapi oleh karena umat Islam telah tersebar dan telah mulai
berpengaruh dalam masyarakat, maka segeralah berdiri Kerajaan Islam di Aceh
Pidir, Demak dan Bantam, dan sambungan Melaka iaitu Johor.
Dikenallah nama-nama Sultan Ali Al-Moghayat Syah Aceh,
Raden Fattah dan Wali Songo di Jawa. Dan Fatahillah, disebut juga Syarif
Hidayatullah dan sebutan lain, pembangun Kerajaan Bantam dan Cirebon dan
puteranya Sultan Hasanuddin.
Sultan Khairun dan puteranya Sultan Babullah di Ternate.
ZAMAN
KELIMA
(ABAD
KETUJUH BELAS)
Sesudah bertarung dengan Portugis dan Sepanyol, Islam
mulai bertarung dengan penjajahan Barat gelombang kedua, iaitu Belanda dan
Inggeris. Timbullah Sultan-sultan Islam yang besar dan perkasa dan
pahlawan-pahlawan yang agung; Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, Sultan Agung
Hanyokrokusumo di Mataram (Jawa Tengah), Sultan Agung Cirtayasa di Bantam,
Trunojoyo di Madura, Karaeng Galesong dari Makassar, Sultan Hasanuddin Makasssar,
Untung Surapati di Jawa, dan Raja Iskandar dari Minangkabau.
Timbul ulama besar Syeikh Nuruddin Raniri Aceh, Abdur
Rauf Singkel, Hamzah Fansuri, dan Syeikh Yusof Tajul Khalwati Makassar dan
Bantam. Timbul pujangga Melayu yang terkenal dalam persuratan dengan nama
kecilnya ‘Tun Seri Lanang’ dan gelar jabatannya sebagai Bendahara negeri Johor,
Bendahara Paduka Raja.
ZAMAN
KEENAM
(ABADKEDELAPAN
BELAS DAN KESEMBILAN BELAS)
Perjuangan lebih hebat dalam merebut hidup di tanah air
sendiri, dengan penjajahan Belanda dan Inggeris. Islam bertambah menunjukkan
coraknya karena hubungan dengan Makkah bertambah lancar. Orang Arab Hadramaut
mulai lebih mudah dan berbondong datang ke negeri-negeri Melayu. Kekuasaan Kerajaan-kerajaan
Islam mulai menurun, kaum ulama tetap mempelopori kebesaran Islam.
Di dalam abad kedelapan belas dan kesembilan belas
timbullah pahlawan-pahlawan Islam baik dari kalangan bangsawan atau dari
kalangan ulama.
Kadang-kadang mereka berjuang mempertahankan kemerdekaan
yang masih ada, arena dengan demikian pulalah agama Islam akan tetap merdeka.
Ketika itulah timbul Raja Haji keturunan Raja-raja Bugis, menjadi Yamtuan Muda
(Bendahara) Johor dan Riau, dan tewas karena berperang dengan Belanda di
Melaka, sehingga layaklah nama pahlawan ini diperingati di Indonesia sekarang,
karena dia berasal dari Bugis dan Riau, dan layak pula diperingati di Kerajaan
Persekutuan Tanah Melayu, karena dia menjadi Bendahara Johor dan tewas karena
berperang dengan Belanda di Melaka.
Terkenal pula pahlawan Abdul Sa’id gelar Dato’Seri
Maharaja Merah, Dato’ dalam negeri Naning (Melaka), dan berasal dari
Minangkabau.
Terkenal nama-nama
Tuanku Imam Bonjol dan ‘Harimau nan Delapan’ (Kaum Paderi) di Minangkabau,
Pangeran Diponegoro di Jawa, Tengku Chik di Tiro, Teuku Omar Johan Pahlawan dan
panglima Polim di Aceh, Pangeran Antasari di Kalimantan, Raden Intan di
Lampung, Sultan Daud Badaruddin di Palembang, Orang Kaya kenamaan dan Dato’
Gajah di Pahang, Kiyahi Haji Wasith di Bantam.
Waktu itu pula timbul ulama-ulama; Syeikh Arsyad di
Banjarmasin, Syeikh Nawawi di Bantam, Syeikh Abdus Samad di Palembang, Sayid
Usman bin Yahya di Jakarta, Syeikh Ahmad Khatib di Minangkabau dan lain-lain.
Syeikh-syeikh itu mengisi jiwa umat Islam dengan ilmu pengetahuan yang luas dalam
hal fiqih, tasawuf dan tauhid.
ZAMAN
KETUJUH
(DARI
PANGKAL SAMPAI PERTENGAHAN ABAD KEDUA PULUH)
Negeri-negeri Melayu mulai merasakan kebangkitan yang
baru dari Islam, karena masuk faham-faham yang diajarkan oleh kaum Wahabi dan
dipermoden lagi oleh Sayid Jamaluddin
Al-Afghany, Syeikh Muhammad Abduh dan Syiekh Taher Jalaluddin, Sayid
Syeikh Taher Jalaluddin, Sayid Syeikh Al-Hadi, Syeikh Muhammad Al-Kalili, Sayid
Abdullah bin ‘Aqil, dan ZA’BA. Terbit Majalla Islam yang membawa perbaharuan
faham Islam yang mula-mula bernama ‘Al-Imam’ (1906-1909), dan di Sumatera Barat
(Minagkabau) timbul gerakan Kaum Muda dengan Majalla ‘Al-Munir’ (1911) maka
muncullah murid-murid Syeikh Ahmad Khatib yang baru pulang dari Makkah, tiga
orang di antaranya yang sangat terkenal; Haji Abdullah Ahmad Padang, Haji Abdul
Karim Amrullah di Padang Panjang dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukit
Tinggi. Di Jawa timbullah kebangkitan kesedaran politik yang dipelopori oleh
Islam, dipimpin oleh Haji Samanhudi, H. O. S. Chokroaminoto, Haji Agus Salim
dan Abdul Muis. Dan timbul kebangkitan perbaharuan faham agama yang dipelopori
oleh Kiyahi Haji Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah dan Syeikh Ahmad
Soorkati dengan mendirikan perkumpulan ‘Ar-Irsyad’.
Dan di Semenanjung Tanah Melayu tercapai pula kemerdekaan
dari penjajahan Inggeris pada 31 Ogos 1957, dengan menjadikan agama Islam
sebagai agama rasmi Kerajaan PersekutuanTanah Melayu.
Dan umat Islam di kepulauan Sulu dan Mindanao (Filipina)
terlingkung pula dalam kemerdekaan negeri Filipina.
Nota: Gambar-gambar yang terdapat di dalam artikel sekadar hiasan bagi menarik minat pembaca.